PERMASALAHAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH
(PEMULUKADA)
(
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah otonomi daerah)
Disusun Oleh:
Nama : Fathur Rozi
NIM : 3601414027
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNNES 2015
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu hasil glombang
reformasi yang terjadi tahun 1998 adalah UU no. 22 tahun 1999, yang kemudian di
ganti dengan uu no. 32 tahun 2004, serta mengalami pergantian dengan uu.no 23
tahun 2014 yaitu tentang pemerintah daerah atau yang lebih di kenal dengan
otonomi daerah. Kehadiran Undang-undang tersebut merupakan peluang untuk
mewujuddkan aspirasi daerah yaitu keinginan untuk memiliki kepala daerah atau
pemimpin lokal yang di sepakat oleh rakyat melalui pemilihan umum. Secara
teknis pemilihan umum merupakan sarana Pelaksanaan
Kedaulatan Rakyat yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat”, seperti yang diamanatkan dalam UUD Negara Republik
Indonesia tahun 1945 pasal 1 ayat 2. Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk
memilih wakil rakyat baik ditingkat pemerintahan pusat maupun
pemerintahan daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat,
dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional
sebagaimana yang diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pemilihan
kepala daerah sudah ada sejak era orde lama dengan penunjukkan langsung, hingga
memasuki era orde baru dengan sistem sentralistik serta sekarang ini era
revormasi di mana pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan
secara terbuka, yakni dipilih oleh warga masyarakat secara langsung. Pemilihan
kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik
bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta
transparan dan bertanggung jawab. Selain
itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan
demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal
. Implementasi dari pemilihan kepala daerah pada dasarnya dapat memenuhi
ekspektasi pemerintahan khususnya warga masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan
langsung warga masyarakat dapat memilih pemimpin yang dianggap memiliki
kapabilitas dan kompetensi yang baik dalam memimpin daerahanya, namun yang
terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik dan juga tingkat pendidikan serta tingkat ekonomi pemilih dalam pemilihan umum yang memengaruhi para pemilih dalam memilih kepala daerah. Tingkat
pendidikan maupun ekonomi Masyarakat Indonesia terbukti dalam beberapa
pemilu setelah masa reformasi sangat berpengaruh, inilah yang menimbulkan
maraknya praktek menyimpang seperti Money Politic. Yang kemudian sangat
menciderai sistem demokrasi yang dibangun oleh bangsa Indonesia agar tercipta
good governance. Oleh karena itu, Penulis akan memberikan gambaran
mengenai permasalah pemilaihan kepala daerah pada masa otonimi daerah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia?
2. Apa permasalahan yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah di era otonomi
daerah?
3. Apa Solusi untuk mengatasi permasalahan dalam pemilihan kepala daerah di
era otonomi daerah ini?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia
Pilkada adalah untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi
politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan diselenggarakan pemilihan umum, dimana
pemilihan umum secara langsung oleh rakyat
merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengalaman sejarah kemimpinan nasional di Indonesia
menunjukan adanya pembatasan ruang gerak demokrasi yang dimilik oleh rakyat.
Hal ini tecermin sejak kepemimpinan nasional yaitu sejak indonesia merdeka
sampai era reformasi, Presiden tidak di pilih langsun oleh rakyat. Hal tersebut
dijadikan tolak ukur untuk menentukan negra itu demokrasi atau tidak , walaupun
demokrasi tidak smata-mata ditentukan adeanya pemilihan oleh rakayat secara
langsung. Sejak merdeka sampai reformasi di kumandagkan kepemimpinan
diindonesia selalu mengalami permasalahan. Presiden yang pertama , yaitu
Presiden Soekarno telah memimpin Indonesia dari 1945 sampai turunya Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966. Peresiden sukarno tidak di pilih baik
secara parlemen ataupun secara langsung oleh rakyat. Kemudian Presiden yang
kedua yaitu Presiden Soeharto walaupun sudah dipilih melalui parlemen, tetapi
pemerintahanya seperti tidak ada batasan yang mengaturnya, Sehingga Presiden
Soeharto dapat terus berkuasa sampai akhirnya dipaksan untuk turun jabatan
melalui reformasi lalu digantikan oleh wakilnya, Habibie.
Pejalan sejarah kepemimpinan nasional tersebutlah yang
menyebabkan munculnya tuntutan untuk diadakan pemilihan secara langsun oleh
rakyat, baik itu pemilihan presiden dan wakilnya maupun pemilihan kepala
daerah. Pemilihan secara langsung pada dasarnya
merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis (
kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung jawab.
Diterapkannya
pilkada merupakan event demokrasi yang bermakna dalam sejarah politik
Indonesia. Untuk pertama kali kontestasi kepala daerah dengan pemilihan
langsung oleh rakyat diterapkan setelah lebih separuh abad republik ini
menyatakan kemerdekaan-nya. Ini juga bersifat koheren dengan penyelenggaraan
pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung (Pasal 6 A UUD 1945). Dalam
konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, pilkada bisa jadi merupakan pilar
yang bersifat memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional. Sebagaimana
dinyatakan oleh Tip O’ Neill, “all politics is local”,1 yang berarti demokrasi
akan berkembang subur dan terbangun kuat di aras nasional apabila dalam
tingkatan yang lebih rendah (lokal) nilai-nilai demokrasi berakar kuat. Pilkada
mewujudkan makna tersebut. Dengan pemahaman seperti itu, penyelenggaraan
pilkadal dapat memberikan dampak positif terhadap penguatan demokrasi di
Indonesia.
Pertama, partisipasi politik. Dalam
pilkadal, rakyat terlibat langsung untuk menentukan siapa layak (memiliki
kredibilitas dan kapabilitas memperjuangkan aspirasi dan memenuhi kepentingan
rakyat) menjadi “pelayan” (pejabat publik) mereka. Melalui proses semacam itu,
dapat tumbuh kesadaran bahwa merekalah (rakyat) pemegang kedaulatan politik
yang sebenarnya. Termasuk dalam kesadaran ini adalah kehati-hatian dalam
menentukan pilihan, sebab kesalahan memilih dapat membawa akibat buruk terhadap
kehidupan mereka.
Kedua, kompetisi politik. Pilkada
membuka ruang untuk kompetisi yang fair dan adil antara kontestan yang
bersaing. Diharapkan tidak ada lagi suatu kontestan dari partai politik
tertentu mendominasi secara terus menerus proses yang berlangsung dan menutup
ruang bagi kelompok lainnya untuk turut berkompetisi secara fair.
Ketiga, legitimasi politik. Berbeda
dengan cara pilkada tidak langsung seperti yang diterapkan sebelumnya, yakni
melalui institusi DPRD, pilkada akan memberikan legitimasi yang kuat kepada
kepemimpinan daerah terpilih. Dalam mekanisme pemilihan langsung ini,
kepemimpinan yang terwujud akan merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan
kepentingan konstituen pemilih (rakyat). Sehingga dapat dipastikan bahwa
kandidat yang terpilih secara demokratis mendapat dukungan dari bagian besar
dari masyarakat pemilih. Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh
DPRD bersifat elitis yang kerap kali menelikung aspirasi rakyat.
Keempat,
minimalisasi manipulasi dan kecurangan. Salah satu unsur yang mendorong
penyelenggaraan pilkadal adalah maraknya berbagai kasus money politics dan
bentuk kecurangan lainnya dalam praktek pemilihan kepala daerah yang selama ini
terjadi. Intervensi pemerintah memang dapat diminimalisasi dalam pilkada selama
hampir 4 tahun otonomi daerah dilangsungkan. Namun bandul permasalahan kini
malah berayun ke tubuh lembaga perwakilan daerah yang diberi kewenangan memilih
kepala daerah. Politik uang (money politics) terjadi hampir secara merata ke
seluruh daerah.
Kelima, accountability. Dalam pemilihan
langsung oleh rakyat, accountability kepala daerah menjadi sangat penting.
Sebab, apabila rakyat sebagai pemilih menilai bahwa kepala daerah yang terpilih
ternyata tidak dapat menjalankan tugas-tugasnya secara baik dan bertanggung
jawab, rakyat akan memberikan sanksi dalam pilkadal berikutnya dengan tidak
memilihnya kembali.
B. Permasalah
Pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan kepala daerah secara langsung pada
dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih
demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung jawab. Selain itu, pemilihan secara langsung
tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar
distribusi pemerintahan secara vertikal . Implementasi dari pemilihan kepala
daerah pada dasarnya dapat memenuhi ekspektasi pemerintahan khususnya warga
masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan langsung warga masyarakat dapat
memilih pemimpin yang dianggap memiliki kapabilitas dan kompetensi yang baik
dalam memimpin daerahanya, namun yang terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit
untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik yang menyebabkan
berbagain masalah.
Masal yang pertama yaitu berkaitan dengan pencalonan. Sejumlah ketentuan
mengatur tentang hal ini. Pasal 59 ayat 1 menyebutkan: “Peserta pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan
secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Dalam
Pasal 59 (2) dinyatakan bahwa yang dapat mendaftarkan pasangan calon adalah
parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 15% (lima belas persen) dari
jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu
DPRD. Keberadaan calon perseorangan dinyatakan dalam pasal 59 (3), bahwa
“Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang
seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui
mekanisme yang demokratis dan transparan.” Ketentuan-ketentuan ini nampak
kurang memihak pada prinsip partisipasi dan kompetisi politik. Sebaliknya,
kepentingan-kepentingan partai politik, terutama partai-partai besar, kelihatan
menonjol. Ayat 1 di atas, misalnya, menegaskan sebenarnya bahwa hanya melalui
partai politik pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat
dinominasi atau menominasikan diri untuk pilkadal ini. Ketentuan semacam ini
membatasi partisipasi publik, dan sebaliknya mengutamakan partai politik.
Apalagi jika dikaitkan dengan ketentuan berikutnya pada ayat 2, hanya
partai-partai besar dapat berpartisipasi dalam proses pemilihan ini. Lebih dari
itu, ayat 3 tidak memberikan jaminan bahwa mekanisme seleksi calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah oleh partai politik akan dilangsungkan secara
demokratis dan transparan. Sebab ketentuan ini amat longgar, karena tidak
memberikan batasan yang jelas tentang kedua mekanisme tersebut dan sanksi yang
tegas jika kewajiban ini tidak dilaksanakan. Dengan ketentuan seperti ini,
kompetisi menjadi terbatas dan tertutup yang hasilnya bisa jadi merupakan
transaksi politik “bawah tangan.” Calon-calon yang berkualitas, kompeten dan
kapable, serta bersih dalam proses pilkada mungkin sekali akan sulit diperoleh.
Kedua, soal penyelenggara pilkada. Dalam pasal
57 ayat 1 ditegaskan bahwa pilkadal diselenggarakan oleh KPUD yang
bertanggungjawab kepada DPRD. Selanjutnya pasal 65 ayat 4 menyatakan bahwa KPUD
berpedoman kepada Peraturan Pemerintah (PP) dalam melaksanakan tugas persiapan
dan pelaksanaan pilkadal. Persoalan yang dikhawatirkan dari kenyataan ini
adalah rawannya KPUD dari intervensi dan tekanan dari elite ataupun massa
partai politik lokal, terutama dalam masalah tarik ulur pencalonan. Di samping
itu, pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD mengandung beberapa ketidakjelasan. UU
tersebut tidak merinci bentuk dan proses
pertanggungjawaban serta pelaporan KPUD kepada DPRD. Termasuk
konsekuensi-konsekuensi yang dimunculkan apabila DPRD ternyata mengambil sikap
menolak pertanggung-jawaban yang disampaikan KPUD. Selain itu, DPRD juga akan
menjadi sasaran politis, mulai sejak proses awal, ketika ketidak-puasan muncul
di kalangan konstituen tertentu. Persoalan lain yang bersifat lebih substansiil
terkait dengan penyelenggara-an pilkada yang bergantung pada Peraturan
Pemerintah. Hal ini merupakan kemunduran dari visi penyelenggaraaan pemilu yang
jurdil yang bebas dari intervensi pemerintah, dan dengan demikian merupakan
kemunduran pula bagi demokratisasi di Indonesia. Ditambah dengan kedudukan KPUD
sebagai institusi penyelenggara pilkadal, persoalan menjadi melebar kepada
masalah “pertentangan” dengan UUD 1945, yang pada pasal 22 menggariskan bahwa
Pemilu dilaksanakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Kenyataan
ini menyuratkan secara jelas bahwa pemilihan kepala daerah tidak dianggap
sebagai bagian dari pemilih umum. Mungkin saja kesalahan terdapat pada UUD 1945
yang tidak menyatakan pilkadal sebagai bagian dari pemilihan umum. Tetapi,
sepanjang pilkadal dinyatakan sebagai proses pemilihan yang mendasarkan pada
prinsip-prinsip pemilihan umum, maka sulit untuk menerima logika yang
mendudukkan pilkadal bukan bagian dari pemilihan umum. Karena itu, wajar saja
jika terdapat kecurigaan kuat bahwa pilkadal memang sengaja didudukkan di bawah
“rezim” pemerintahan daerah untuk maksud-maksud politis yang menguntungkan
pemerintah pusat.
Ketiga,
terkait dengan kepanitian pengawas pilkadal. Pengawas dalam penyelenggaraan
pilkadal dibentuk oleh DPRD (Pasal 57 ayat 7). Panitia Pengawas terdiri atas
unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat.
Panitia Pengawas juga bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban
menyampaikan laporannya. Adanya ketentuan menyangkut unsur perguruan tinggi dan
press sebagai anggota Panitia Pengawas terasa berlebihan. Bisa jadi nantinya
anggota Panitia Pengawas di tingkat kabupaten/ kota didominasi oleh orang-orang
yang berasal dari ibukota provinsi, mengingat sebagian besar kabupaten/kota
tidak memilik press dan perguruan tinggi. Duplikasi pelaksanaan pemilu nasional
(legislatif, DPD dan presiden/wakil presiden) ke dalam pemilu lokal ini
seolah-seolah menggeneralisasi persoalan. Persoalan lain yang muncul terkait
dengan independensi Panitia Pengawas. Sebab, DPRD merupakan “kepanjangan tangan
parpol” yang turut terlibat dan sarat kepentingan dalam penyelenggaraan pilkada
langsung, berikut hasil akhirnya. Dapat dipastikan parpol akan berlomba-lomba
menaruh “orangnya” dalam komposisi kepanitiaan pengawas pilkada. Dengan demikian
dikhawatirkan Panitia Pengawas akan menjadi kepanjangan kepentingan partai
politik dalam menjalankan tugasnya, dan karena itu, tidak lagi bersifat
independen.
Keempat, berkaitan dengan penetapan hasil
pemilihan. Antara pasal 107 (1) dan 107 (2) terjadi kontradiksi terkait dengan
jumlah suara sah untuk penetapan pasangan calon terpilih. Pada pasal 107 (1)
dinyatakan calon yang memperoleh lebih dari 50% suara sah langsung ditetapkan
sebagai pasangan terpilih. Tetapi ketentuan ini dibatalkan oleh ayat 2 yang
menegaskan bahwa peraih suara terbanyak di atas 25 % dinyatakan sebagai
pasangan calon terpilih. Apabila ketentuan ini diberlakukan (paling besar
diatas 25% dinyatakan terpilih), persoalan mendasar yang muncul akan berkaitan
dengan kulaitas legitimasi. Pilkada dengan demikian memberikan kemungkinan
terbentuknya pemerintahan “minoritas” dengan legitimasi yang lemah.
Pemerintahan seperti ini mungkin sekali bukan merupakan pemerintahan yang
menyelesaikan masalah, sebaliknya justru bisa jadi sumber masalah-masalah baru
di daerah. Banyak persoalan lain masih dapat dirinci dari pengaturan politis
tentang pilkadal. Tetapi, beberapa catatan di atas kiranya cukup untuk
menunjukkan bahwa meski pilkada dapat memacu demokratisasi pada tingkat lokal,
penyelenggaraannya mengandung banyak kelemahan yang dapat mengganggu
langkah-langkah maju demokratisasi di daerah. Jika kelemahan ini tidak segera
di atasi, pilkada malahan dapat menimbulkan komplikasi persoalan justru setelah
proses pemilihan kepala daerah menetapkan hasil-hasilnya.
Selain beberapa masalah di atas masih ada
beberapa masalah klasik yang membayangi pemilihan kepala daerah secara lansung
seperti :
1. Money Politik
Rendahnya pengetahuan dan
partisipasi masyarakat membuat masyarakat mudah dipengaruhi oleh money politik,
belum lagi keadaan ekonomi yang lemah sangat mendukung money politik ini.
Contoh yang nyata dialami oleh penulis ketika pilkada kabupaten Bandung
beberapa waktu lalu di daerah cibiru ada salah satu tim sukses pasangan calon
bupati yang membagi-bagikan uang dan sembako dengan kesepakatan untuk memilih
pasangan calon tersebut. Ini menunjukan bahwa pilkada masih kental dengan money
politik dan menjadi masalah yang sangat serius dalam proses demokrasi.
2. Intimidasi
Selain money politik yang sasarannya
untu masyarakat golongan ekonomi lemah, intimidasi dengan kekerasan sering
terjadi untuk memaksakan kehendak dalam pilkada sehingga calonnya terpilih.
Menggunakan kekerasan intimidasi terhadap masyarakat sangat beresiko fatal
sebab selain mencederai proses demokratisasi juga berpotensiterjadinya konflik
horizontal. Hal ini sangat bertentangan dengan asas penyelenggaraan pilkada
yang luber dan jurdil.
3. Mendahului start kampanye
Pelanggaran ini juga sangat sering
terjadi, pemasangan alat peraga kampanye padahal belum memasuki masa kampanye
sangat sering kita jumpai sehingga merusak pemandangan kota. Di samping itu
juga pemanfaatan media televisi juga sering dilakukan padah belum memasuki
jadwal kampanye.
4.
Black Campaign
Pelanggaran ini bisa bersifat
fitnah, tuduhan atau peruasakan nama baik calon yang satu oleh calon yang lain.
Pelanggaran ini jelas sangat merusak citra demokrasi yang seharusnya santun
dalam berpolitik.
C.
Solusi Permasalahan Pemilihan Kepala Daerah
Diperlukan suatu terobosan dalam melihat kembali
pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa kekurangan-kekurangan
yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini. Setidaknya kita tidak
berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena konflik antar
pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa banyak dana lagi
yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam proses pilkada, dan
kemunduran pendidikan politik yang menciptakan pemilih-pemilih yang primitif,
tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.
Dengan melihat praktek yang terjadi tentunya
sudah pantasnya pemerintah melakukan evaluasi mengenai kekurangan-kekurangan
tersebut. Presiden RI ketiga B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan
tonggak demokrasi yang penting di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi
sinergi antara kemerdekaan dan kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya
dikembalikan kepada rakyat. Presiden/Wapres dan Pilkada dipilih secara langsung
oleh rakyat. Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang
sudah sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah
yang besar, maka efektifitas system pemilihan gubernur secara langsung perlu
dilakukan peninjauan kembali sebagai berikut:
a. Tinjauan yuridis
Berdasar:
1)
Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa,
"kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang",
2)
Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa,
"Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis",
3)
Pasal 28D ayat (3) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakanbahwa, "setiap
warga negera berhak memperoleh kesempatan yg sama dalam pemerintahan",
Bahwa
tidak ada perintah pemilihan
gubernur dipilih secara langsung, sehingga pemilihan gubernur dilakukan melalui system perwakilan tidak bertentangan dengan
konstitusi.
b. Tinjauan filosofis
1) Dari
sisi ruang partisipasi rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui sistem
perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah
dibanding dengan system pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk
dipilih sama, jika persyaratan calon gubernur sama.
2) Dari
sisi ruang partisipasi rakyat utk dipilih, baik sistem pemilihan secara
langsung maupun melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan
bagi kedua sstem tersebut sama.
3) Dari
sisi terbukanya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah
(provinsi) kurang dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi
operasional berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas
kebijakan yang terkait dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4) Dari
sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat
dan daerah, pemilihan Gubernur melalui perwakilan dimana selain DPRD,
Pemerintah juga mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur akan memiliki
nilai yang lebih baik, karena di satu sisi gubernur harus menjamin
terlaksananya kebijakan pemerintah pusat di daerah, di sisi lain Gubernur juga
harus memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah yang direpresentasikan
oleh DPRD.
5) Dari
sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin
dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka
posisi Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi
pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh
rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran.
6) Dari
sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam
memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal
yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi penentuan
gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan
biaya yang harus dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.
c. Tinjauan Politis
1)
Perkuatan sistem NKRI.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun
1945 bahwa Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan. Sistem ini bertujuan
untuk menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan
jumlah daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi
rentang kendali pemerintahan diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang
kuat dengan pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan
dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur.
Untuk itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga
adanya peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki
nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
2)
Penataan posisi gubernur dan sumber legitimasi.
Pemilihan
gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan bupati/walikota
telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota sebagai kepala
daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang besar yang
membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat daerah yang
membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai kepala daerah
sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan gubernur sebagai kepala
daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka sumber legitimasi gubernur
akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
d. Tinjauan Sosiologis
1)
Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat.
Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang
masih mementingkan kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan
belum mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara
langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam menumbuhkan
budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui pengaturan tertentu
pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon bersaing secara sehat.
2)
Menumbuhkan kesadaran akan
kebutuhan pemimpin yang
mampu membawa kemajuan daerah.
Dalam
kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan
program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk
menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan
daerah, dibanding dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat
setidaknya akan mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas
pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
e. Tinjauan efektifitas dan efisiensi
Dari
segi kemudahan untuk dilaksanakan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan
pemilihan kepala daerah melalui perwakilan jauh lebih baik dibanding dengan
melalui Pilkada secara langsung. Berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis,
sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung lebih banyak
kelemahannya dibandingkan dengan jika dipilih melalui sistem perwakilan.
Selanjutnya
perlu juga diperhatikan mengenai sistem pemilihan wakil kepala daerah, di mana
dalam UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur,
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD
Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan
dengan kepala daerah. Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung
berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian dengan
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam
perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang,
banyak terjadi hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak
harmonis, sehingga adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat membantu atau
terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling
melemahkan. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang
juga sarat dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan
wakil kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver
politik yang saling menjatuhkan. Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak
harmonis tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala
daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat
menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemilihan kepala daerah atau yang sering di sebut pilkadamerupakan adalah pemilihan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah
sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah. Pemilihan kepala daerah
pada era otonomi daerah ini merupakan sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat
yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal
ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat”. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut
menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi
pemerintahan secara vertikal.
Akan tetapi, Pelakasanaan pilkada yang di
laksanakan di indonesia belum sesuai dengan harapan dan tujuan. Berbagi
permaslahan timbul di dalam pemilihan kepala daerah, seperti Persainmgan yang
kurang jujur antara pratai politik, Konfilik antar pendukung kepala daerah,
Pelaksananan Pemilihan kepala daerah yang belum sesuai ,Money Politik dan masih
banyak lagi.
Diperlukan suatu terobosan untuk
mengatasi permaslahan-permasalah yang tersebut.salah satunya dengan melihat
kembali pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa
kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini.
Setidaknya kita tidak berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena
konflik antar pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa
banyak dana lagi yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam
proses pilkada, dan kemunduran pendidikan politik yang menciptakan
pemilih-pemilih yang primitif, tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.
Daftar
Pustaka
Ibrahim,
Ahmad.2013. Dinamika Politik Lokal . Bandung:
Mandar Maju
Irtanto. 2008. Dinamika
Politik Lokal Era Otonomi Daerah. Surabaya : Pustaka Pelajar
Santoso, Agus.
2013. Menyikap Tabir Otonomi Daerah di Indonesia. Samarinda
: Puataka Pelajar
Sentosa, Sembiring. 2009. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia, Pemerintahan Daerah (Pemda). Bandung: Nuansa Aulia
Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
PERMASALAHAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH
(PEMULUKADA)
(
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah otonomi daerah)
Disusun Oleh:
Nama : Fathur Rozi
NIM : 3601414027
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNNES 2015
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu hasil glombang
reformasi yang terjadi tahun 1998 adalah UU no. 22 tahun 1999, yang kemudian di
ganti dengan uu no. 32 tahun 2004, serta mengalami pergantian dengan uu.no 23
tahun 2014 yaitu tentang pemerintah daerah atau yang lebih di kenal dengan
otonomi daerah. Kehadiran Undang-undang tersebut merupakan peluang untuk
mewujuddkan aspirasi daerah yaitu keinginan untuk memiliki kepala daerah atau
pemimpin lokal yang di sepakat oleh rakyat melalui pemilihan umum. Secara
teknis pemilihan umum merupakan sarana Pelaksanaan
Kedaulatan Rakyat yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat”, seperti yang diamanatkan dalam UUD Negara Republik
Indonesia tahun 1945 pasal 1 ayat 2. Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk
memilih wakil rakyat baik ditingkat pemerintahan pusat maupun
pemerintahan daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat,
dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional
sebagaimana yang diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pemilihan
kepala daerah sudah ada sejak era orde lama dengan penunjukkan langsung, hingga
memasuki era orde baru dengan sistem sentralistik serta sekarang ini era
revormasi di mana pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan
secara terbuka, yakni dipilih oleh warga masyarakat secara langsung. Pemilihan
kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik
bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta
transparan dan bertanggung jawab. Selain
itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan
demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal
. Implementasi dari pemilihan kepala daerah pada dasarnya dapat memenuhi
ekspektasi pemerintahan khususnya warga masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan
langsung warga masyarakat dapat memilih pemimpin yang dianggap memiliki
kapabilitas dan kompetensi yang baik dalam memimpin daerahanya, namun yang
terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik dan juga tingkat pendidikan serta tingkat ekonomi pemilih dalam pemilihan umum yang memengaruhi para pemilih dalam memilih kepala daerah. Tingkat
pendidikan maupun ekonomi Masyarakat Indonesia terbukti dalam beberapa
pemilu setelah masa reformasi sangat berpengaruh, inilah yang menimbulkan
maraknya praktek menyimpang seperti Money Politic. Yang kemudian sangat
menciderai sistem demokrasi yang dibangun oleh bangsa Indonesia agar tercipta
good governance. Oleh karena itu, Penulis akan memberikan gambaran
mengenai permasalah pemilaihan kepala daerah pada masa otonimi daerah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia?
2. Apa permasalahan yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah di era otonomi
daerah?
3. Apa Solusi untuk mengatasi permasalahan dalam pemilihan kepala daerah di
era otonomi daerah ini?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia
Pilkada adalah untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi
politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan diselenggarakan pemilihan umum, dimana
pemilihan umum secara langsung oleh rakyat
merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengalaman sejarah kemimpinan nasional di Indonesia
menunjukan adanya pembatasan ruang gerak demokrasi yang dimilik oleh rakyat.
Hal ini tecermin sejak kepemimpinan nasional yaitu sejak indonesia merdeka
sampai era reformasi, Presiden tidak di pilih langsun oleh rakyat. Hal tersebut
dijadikan tolak ukur untuk menentukan negra itu demokrasi atau tidak , walaupun
demokrasi tidak smata-mata ditentukan adeanya pemilihan oleh rakayat secara
langsung. Sejak merdeka sampai reformasi di kumandagkan kepemimpinan
diindonesia selalu mengalami permasalahan. Presiden yang pertama , yaitu
Presiden Soekarno telah memimpin Indonesia dari 1945 sampai turunya Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966. Peresiden sukarno tidak di pilih baik
secara parlemen ataupun secara langsung oleh rakyat. Kemudian Presiden yang
kedua yaitu Presiden Soeharto walaupun sudah dipilih melalui parlemen, tetapi
pemerintahanya seperti tidak ada batasan yang mengaturnya, Sehingga Presiden
Soeharto dapat terus berkuasa sampai akhirnya dipaksan untuk turun jabatan
melalui reformasi lalu digantikan oleh wakilnya, Habibie.
Pejalan sejarah kepemimpinan nasional tersebutlah yang
menyebabkan munculnya tuntutan untuk diadakan pemilihan secara langsun oleh
rakyat, baik itu pemilihan presiden dan wakilnya maupun pemilihan kepala
daerah. Pemilihan secara langsung pada dasarnya
merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis (
kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung jawab.
Diterapkannya
pilkada merupakan event demokrasi yang bermakna dalam sejarah politik
Indonesia. Untuk pertama kali kontestasi kepala daerah dengan pemilihan
langsung oleh rakyat diterapkan setelah lebih separuh abad republik ini
menyatakan kemerdekaan-nya. Ini juga bersifat koheren dengan penyelenggaraan
pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung (Pasal 6 A UUD 1945). Dalam
konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, pilkada bisa jadi merupakan pilar
yang bersifat memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional. Sebagaimana
dinyatakan oleh Tip O’ Neill, “all politics is local”,1 yang berarti demokrasi
akan berkembang subur dan terbangun kuat di aras nasional apabila dalam
tingkatan yang lebih rendah (lokal) nilai-nilai demokrasi berakar kuat. Pilkada
mewujudkan makna tersebut. Dengan pemahaman seperti itu, penyelenggaraan
pilkadal dapat memberikan dampak positif terhadap penguatan demokrasi di
Indonesia.
Pertama, partisipasi politik. Dalam
pilkadal, rakyat terlibat langsung untuk menentukan siapa layak (memiliki
kredibilitas dan kapabilitas memperjuangkan aspirasi dan memenuhi kepentingan
rakyat) menjadi “pelayan” (pejabat publik) mereka. Melalui proses semacam itu,
dapat tumbuh kesadaran bahwa merekalah (rakyat) pemegang kedaulatan politik
yang sebenarnya. Termasuk dalam kesadaran ini adalah kehati-hatian dalam
menentukan pilihan, sebab kesalahan memilih dapat membawa akibat buruk terhadap
kehidupan mereka.
Kedua, kompetisi politik. Pilkada
membuka ruang untuk kompetisi yang fair dan adil antara kontestan yang
bersaing. Diharapkan tidak ada lagi suatu kontestan dari partai politik
tertentu mendominasi secara terus menerus proses yang berlangsung dan menutup
ruang bagi kelompok lainnya untuk turut berkompetisi secara fair.
Ketiga, legitimasi politik. Berbeda
dengan cara pilkada tidak langsung seperti yang diterapkan sebelumnya, yakni
melalui institusi DPRD, pilkada akan memberikan legitimasi yang kuat kepada
kepemimpinan daerah terpilih. Dalam mekanisme pemilihan langsung ini,
kepemimpinan yang terwujud akan merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan
kepentingan konstituen pemilih (rakyat). Sehingga dapat dipastikan bahwa
kandidat yang terpilih secara demokratis mendapat dukungan dari bagian besar
dari masyarakat pemilih. Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh
DPRD bersifat elitis yang kerap kali menelikung aspirasi rakyat.
Keempat,
minimalisasi manipulasi dan kecurangan. Salah satu unsur yang mendorong
penyelenggaraan pilkadal adalah maraknya berbagai kasus money politics dan
bentuk kecurangan lainnya dalam praktek pemilihan kepala daerah yang selama ini
terjadi. Intervensi pemerintah memang dapat diminimalisasi dalam pilkada selama
hampir 4 tahun otonomi daerah dilangsungkan. Namun bandul permasalahan kini
malah berayun ke tubuh lembaga perwakilan daerah yang diberi kewenangan memilih
kepala daerah. Politik uang (money politics) terjadi hampir secara merata ke
seluruh daerah.
Kelima, accountability. Dalam pemilihan
langsung oleh rakyat, accountability kepala daerah menjadi sangat penting.
Sebab, apabila rakyat sebagai pemilih menilai bahwa kepala daerah yang terpilih
ternyata tidak dapat menjalankan tugas-tugasnya secara baik dan bertanggung
jawab, rakyat akan memberikan sanksi dalam pilkadal berikutnya dengan tidak
memilihnya kembali.
B. Permasalah
Pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan kepala daerah secara langsung pada
dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih
demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung jawab. Selain itu, pemilihan secara langsung
tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar
distribusi pemerintahan secara vertikal . Implementasi dari pemilihan kepala
daerah pada dasarnya dapat memenuhi ekspektasi pemerintahan khususnya warga
masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan langsung warga masyarakat dapat
memilih pemimpin yang dianggap memiliki kapabilitas dan kompetensi yang baik
dalam memimpin daerahanya, namun yang terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit
untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik yang menyebabkan
berbagain masalah.
Masal yang pertama yaitu berkaitan dengan pencalonan. Sejumlah ketentuan
mengatur tentang hal ini. Pasal 59 ayat 1 menyebutkan: “Peserta pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan
secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Dalam
Pasal 59 (2) dinyatakan bahwa yang dapat mendaftarkan pasangan calon adalah
parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 15% (lima belas persen) dari
jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu
DPRD. Keberadaan calon perseorangan dinyatakan dalam pasal 59 (3), bahwa
“Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang
seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui
mekanisme yang demokratis dan transparan.” Ketentuan-ketentuan ini nampak
kurang memihak pada prinsip partisipasi dan kompetisi politik. Sebaliknya,
kepentingan-kepentingan partai politik, terutama partai-partai besar, kelihatan
menonjol. Ayat 1 di atas, misalnya, menegaskan sebenarnya bahwa hanya melalui
partai politik pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat
dinominasi atau menominasikan diri untuk pilkadal ini. Ketentuan semacam ini
membatasi partisipasi publik, dan sebaliknya mengutamakan partai politik.
Apalagi jika dikaitkan dengan ketentuan berikutnya pada ayat 2, hanya
partai-partai besar dapat berpartisipasi dalam proses pemilihan ini. Lebih dari
itu, ayat 3 tidak memberikan jaminan bahwa mekanisme seleksi calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah oleh partai politik akan dilangsungkan secara
demokratis dan transparan. Sebab ketentuan ini amat longgar, karena tidak
memberikan batasan yang jelas tentang kedua mekanisme tersebut dan sanksi yang
tegas jika kewajiban ini tidak dilaksanakan. Dengan ketentuan seperti ini,
kompetisi menjadi terbatas dan tertutup yang hasilnya bisa jadi merupakan
transaksi politik “bawah tangan.” Calon-calon yang berkualitas, kompeten dan
kapable, serta bersih dalam proses pilkada mungkin sekali akan sulit diperoleh.
Kedua, soal penyelenggara pilkada. Dalam pasal
57 ayat 1 ditegaskan bahwa pilkadal diselenggarakan oleh KPUD yang
bertanggungjawab kepada DPRD. Selanjutnya pasal 65 ayat 4 menyatakan bahwa KPUD
berpedoman kepada Peraturan Pemerintah (PP) dalam melaksanakan tugas persiapan
dan pelaksanaan pilkadal. Persoalan yang dikhawatirkan dari kenyataan ini
adalah rawannya KPUD dari intervensi dan tekanan dari elite ataupun massa
partai politik lokal, terutama dalam masalah tarik ulur pencalonan. Di samping
itu, pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD mengandung beberapa ketidakjelasan. UU
tersebut tidak merinci bentuk dan proses
pertanggungjawaban serta pelaporan KPUD kepada DPRD. Termasuk
konsekuensi-konsekuensi yang dimunculkan apabila DPRD ternyata mengambil sikap
menolak pertanggung-jawaban yang disampaikan KPUD. Selain itu, DPRD juga akan
menjadi sasaran politis, mulai sejak proses awal, ketika ketidak-puasan muncul
di kalangan konstituen tertentu. Persoalan lain yang bersifat lebih substansiil
terkait dengan penyelenggara-an pilkada yang bergantung pada Peraturan
Pemerintah. Hal ini merupakan kemunduran dari visi penyelenggaraaan pemilu yang
jurdil yang bebas dari intervensi pemerintah, dan dengan demikian merupakan
kemunduran pula bagi demokratisasi di Indonesia. Ditambah dengan kedudukan KPUD
sebagai institusi penyelenggara pilkadal, persoalan menjadi melebar kepada
masalah “pertentangan” dengan UUD 1945, yang pada pasal 22 menggariskan bahwa
Pemilu dilaksanakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Kenyataan
ini menyuratkan secara jelas bahwa pemilihan kepala daerah tidak dianggap
sebagai bagian dari pemilih umum. Mungkin saja kesalahan terdapat pada UUD 1945
yang tidak menyatakan pilkadal sebagai bagian dari pemilihan umum. Tetapi,
sepanjang pilkadal dinyatakan sebagai proses pemilihan yang mendasarkan pada
prinsip-prinsip pemilihan umum, maka sulit untuk menerima logika yang
mendudukkan pilkadal bukan bagian dari pemilihan umum. Karena itu, wajar saja
jika terdapat kecurigaan kuat bahwa pilkadal memang sengaja didudukkan di bawah
“rezim” pemerintahan daerah untuk maksud-maksud politis yang menguntungkan
pemerintah pusat.
Ketiga,
terkait dengan kepanitian pengawas pilkadal. Pengawas dalam penyelenggaraan
pilkadal dibentuk oleh DPRD (Pasal 57 ayat 7). Panitia Pengawas terdiri atas
unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat.
Panitia Pengawas juga bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban
menyampaikan laporannya. Adanya ketentuan menyangkut unsur perguruan tinggi dan
press sebagai anggota Panitia Pengawas terasa berlebihan. Bisa jadi nantinya
anggota Panitia Pengawas di tingkat kabupaten/ kota didominasi oleh orang-orang
yang berasal dari ibukota provinsi, mengingat sebagian besar kabupaten/kota
tidak memilik press dan perguruan tinggi. Duplikasi pelaksanaan pemilu nasional
(legislatif, DPD dan presiden/wakil presiden) ke dalam pemilu lokal ini
seolah-seolah menggeneralisasi persoalan. Persoalan lain yang muncul terkait
dengan independensi Panitia Pengawas. Sebab, DPRD merupakan “kepanjangan tangan
parpol” yang turut terlibat dan sarat kepentingan dalam penyelenggaraan pilkada
langsung, berikut hasil akhirnya. Dapat dipastikan parpol akan berlomba-lomba
menaruh “orangnya” dalam komposisi kepanitiaan pengawas pilkada. Dengan demikian
dikhawatirkan Panitia Pengawas akan menjadi kepanjangan kepentingan partai
politik dalam menjalankan tugasnya, dan karena itu, tidak lagi bersifat
independen.
Keempat, berkaitan dengan penetapan hasil
pemilihan. Antara pasal 107 (1) dan 107 (2) terjadi kontradiksi terkait dengan
jumlah suara sah untuk penetapan pasangan calon terpilih. Pada pasal 107 (1)
dinyatakan calon yang memperoleh lebih dari 50% suara sah langsung ditetapkan
sebagai pasangan terpilih. Tetapi ketentuan ini dibatalkan oleh ayat 2 yang
menegaskan bahwa peraih suara terbanyak di atas 25 % dinyatakan sebagai
pasangan calon terpilih. Apabila ketentuan ini diberlakukan (paling besar
diatas 25% dinyatakan terpilih), persoalan mendasar yang muncul akan berkaitan
dengan kulaitas legitimasi. Pilkada dengan demikian memberikan kemungkinan
terbentuknya pemerintahan “minoritas” dengan legitimasi yang lemah.
Pemerintahan seperti ini mungkin sekali bukan merupakan pemerintahan yang
menyelesaikan masalah, sebaliknya justru bisa jadi sumber masalah-masalah baru
di daerah. Banyak persoalan lain masih dapat dirinci dari pengaturan politis
tentang pilkadal. Tetapi, beberapa catatan di atas kiranya cukup untuk
menunjukkan bahwa meski pilkada dapat memacu demokratisasi pada tingkat lokal,
penyelenggaraannya mengandung banyak kelemahan yang dapat mengganggu
langkah-langkah maju demokratisasi di daerah. Jika kelemahan ini tidak segera
di atasi, pilkada malahan dapat menimbulkan komplikasi persoalan justru setelah
proses pemilihan kepala daerah menetapkan hasil-hasilnya.
Selain beberapa masalah di atas masih ada
beberapa masalah klasik yang membayangi pemilihan kepala daerah secara lansung
seperti :
1. Money Politik
Rendahnya pengetahuan dan
partisipasi masyarakat membuat masyarakat mudah dipengaruhi oleh money politik,
belum lagi keadaan ekonomi yang lemah sangat mendukung money politik ini.
Contoh yang nyata dialami oleh penulis ketika pilkada kabupaten Bandung
beberapa waktu lalu di daerah cibiru ada salah satu tim sukses pasangan calon
bupati yang membagi-bagikan uang dan sembako dengan kesepakatan untuk memilih
pasangan calon tersebut. Ini menunjukan bahwa pilkada masih kental dengan money
politik dan menjadi masalah yang sangat serius dalam proses demokrasi.
2. Intimidasi
Selain money politik yang sasarannya
untu masyarakat golongan ekonomi lemah, intimidasi dengan kekerasan sering
terjadi untuk memaksakan kehendak dalam pilkada sehingga calonnya terpilih.
Menggunakan kekerasan intimidasi terhadap masyarakat sangat beresiko fatal
sebab selain mencederai proses demokratisasi juga berpotensiterjadinya konflik
horizontal. Hal ini sangat bertentangan dengan asas penyelenggaraan pilkada
yang luber dan jurdil.
3. Mendahului start kampanye
Pelanggaran ini juga sangat sering
terjadi, pemasangan alat peraga kampanye padahal belum memasuki masa kampanye
sangat sering kita jumpai sehingga merusak pemandangan kota. Di samping itu
juga pemanfaatan media televisi juga sering dilakukan padah belum memasuki
jadwal kampanye.
4.
Black Campaign
Pelanggaran ini bisa bersifat
fitnah, tuduhan atau peruasakan nama baik calon yang satu oleh calon yang lain.
Pelanggaran ini jelas sangat merusak citra demokrasi yang seharusnya santun
dalam berpolitik.
C.
Solusi Permasalahan Pemilihan Kepala Daerah
Diperlukan suatu terobosan dalam melihat kembali
pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa kekurangan-kekurangan
yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini. Setidaknya kita tidak
berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena konflik antar
pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa banyak dana lagi
yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam proses pilkada, dan
kemunduran pendidikan politik yang menciptakan pemilih-pemilih yang primitif,
tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.
Dengan melihat praktek yang terjadi tentunya
sudah pantasnya pemerintah melakukan evaluasi mengenai kekurangan-kekurangan
tersebut. Presiden RI ketiga B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan
tonggak demokrasi yang penting di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi
sinergi antara kemerdekaan dan kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya
dikembalikan kepada rakyat. Presiden/Wapres dan Pilkada dipilih secara langsung
oleh rakyat. Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang
sudah sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah
yang besar, maka efektifitas system pemilihan gubernur secara langsung perlu
dilakukan peninjauan kembali sebagai berikut:
a. Tinjauan yuridis
Berdasar:
1)
Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa,
"kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang",
2)
Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa,
"Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis",
3)
Pasal 28D ayat (3) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakanbahwa, "setiap
warga negera berhak memperoleh kesempatan yg sama dalam pemerintahan",
Bahwa
tidak ada perintah pemilihan
gubernur dipilih secara langsung, sehingga pemilihan gubernur dilakukan melalui system perwakilan tidak bertentangan dengan
konstitusi.
b. Tinjauan filosofis
1) Dari
sisi ruang partisipasi rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui sistem
perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah
dibanding dengan system pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk
dipilih sama, jika persyaratan calon gubernur sama.
2) Dari
sisi ruang partisipasi rakyat utk dipilih, baik sistem pemilihan secara
langsung maupun melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan
bagi kedua sstem tersebut sama.
3) Dari
sisi terbukanya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah
(provinsi) kurang dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi
operasional berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas
kebijakan yang terkait dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4) Dari
sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat
dan daerah, pemilihan Gubernur melalui perwakilan dimana selain DPRD,
Pemerintah juga mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur akan memiliki
nilai yang lebih baik, karena di satu sisi gubernur harus menjamin
terlaksananya kebijakan pemerintah pusat di daerah, di sisi lain Gubernur juga
harus memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah yang direpresentasikan
oleh DPRD.
5) Dari
sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin
dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka
posisi Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi
pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh
rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran.
6) Dari
sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam
memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal
yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi penentuan
gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan
biaya yang harus dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.
c. Tinjauan Politis
1)
Perkuatan sistem NKRI.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun
1945 bahwa Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan. Sistem ini bertujuan
untuk menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan
jumlah daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi
rentang kendali pemerintahan diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang
kuat dengan pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan
dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur.
Untuk itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga
adanya peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki
nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
2)
Penataan posisi gubernur dan sumber legitimasi.
Pemilihan
gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan bupati/walikota
telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota sebagai kepala
daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang besar yang
membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat daerah yang
membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai kepala daerah
sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan gubernur sebagai kepala
daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka sumber legitimasi gubernur
akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
d. Tinjauan Sosiologis
1)
Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat.
Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang
masih mementingkan kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan
belum mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara
langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam menumbuhkan
budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui pengaturan tertentu
pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon bersaing secara sehat.
2)
Menumbuhkan kesadaran akan
kebutuhan pemimpin yang
mampu membawa kemajuan daerah.
Dalam
kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan
program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk
menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan
daerah, dibanding dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat
setidaknya akan mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas
pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
e. Tinjauan efektifitas dan efisiensi
Dari
segi kemudahan untuk dilaksanakan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan
pemilihan kepala daerah melalui perwakilan jauh lebih baik dibanding dengan
melalui Pilkada secara langsung. Berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis,
sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung lebih banyak
kelemahannya dibandingkan dengan jika dipilih melalui sistem perwakilan.
Selanjutnya
perlu juga diperhatikan mengenai sistem pemilihan wakil kepala daerah, di mana
dalam UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur,
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD
Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan
dengan kepala daerah. Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung
berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian dengan
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam
perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang,
banyak terjadi hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak
harmonis, sehingga adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat membantu atau
terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling
melemahkan. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang
juga sarat dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan
wakil kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver
politik yang saling menjatuhkan. Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak
harmonis tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala
daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat
menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemilihan kepala daerah atau yang sering di sebut pilkadamerupakan adalah pemilihan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah
sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah. Pemilihan kepala daerah
pada era otonomi daerah ini merupakan sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat
yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal
ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat”. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut
menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi
pemerintahan secara vertikal.
Akan tetapi, Pelakasanaan pilkada yang di
laksanakan di indonesia belum sesuai dengan harapan dan tujuan. Berbagi
permaslahan timbul di dalam pemilihan kepala daerah, seperti Persainmgan yang
kurang jujur antara pratai politik, Konfilik antar pendukung kepala daerah,
Pelaksananan Pemilihan kepala daerah yang belum sesuai ,Money Politik dan masih
banyak lagi.
Diperlukan suatu terobosan untuk
mengatasi permaslahan-permasalah yang tersebut.salah satunya dengan melihat
kembali pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa
kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini.
Setidaknya kita tidak berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena
konflik antar pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa
banyak dana lagi yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam
proses pilkada, dan kemunduran pendidikan politik yang menciptakan
pemilih-pemilih yang primitif, tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.
Daftar
Pustaka
Ibrahim,
Ahmad.2013. Dinamika Politik Lokal . Bandung:
Mandar Maju
Irtanto. 2008. Dinamika
Politik Lokal Era Otonomi Daerah. Surabaya : Pustaka Pelajar
Santoso, Agus.
2013. Menyikap Tabir Otonomi Daerah di Indonesia. Samarinda
: Puataka Pelajar
Sentosa, Sembiring. 2009. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia, Pemerintahan Daerah (Pemda). Bandung: Nuansa Aulia
Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
PERMASALAHAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH
(PEMULUKADA)
(
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah otonomi daerah)
Disusun Oleh:
Nama : Fathur Rozi
NIM : 3601414027
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNNES 2015
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu hasil glombang
reformasi yang terjadi tahun 1998 adalah UU no. 22 tahun 1999, yang kemudian di
ganti dengan uu no. 32 tahun 2004, serta mengalami pergantian dengan uu.no 23
tahun 2014 yaitu tentang pemerintah daerah atau yang lebih di kenal dengan
otonomi daerah. Kehadiran Undang-undang tersebut merupakan peluang untuk
mewujuddkan aspirasi daerah yaitu keinginan untuk memiliki kepala daerah atau
pemimpin lokal yang di sepakat oleh rakyat melalui pemilihan umum. Secara
teknis pemilihan umum merupakan sarana Pelaksanaan
Kedaulatan Rakyat yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat”, seperti yang diamanatkan dalam UUD Negara Republik
Indonesia tahun 1945 pasal 1 ayat 2. Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk
memilih wakil rakyat baik ditingkat pemerintahan pusat maupun
pemerintahan daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat,
dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional
sebagaimana yang diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pemilihan
kepala daerah sudah ada sejak era orde lama dengan penunjukkan langsung, hingga
memasuki era orde baru dengan sistem sentralistik serta sekarang ini era
revormasi di mana pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan
secara terbuka, yakni dipilih oleh warga masyarakat secara langsung. Pemilihan
kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik
bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta
transparan dan bertanggung jawab. Selain
itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan
demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal
. Implementasi dari pemilihan kepala daerah pada dasarnya dapat memenuhi
ekspektasi pemerintahan khususnya warga masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan
langsung warga masyarakat dapat memilih pemimpin yang dianggap memiliki
kapabilitas dan kompetensi yang baik dalam memimpin daerahanya, namun yang
terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik dan juga tingkat pendidikan serta tingkat ekonomi pemilih dalam pemilihan umum yang memengaruhi para pemilih dalam memilih kepala daerah. Tingkat
pendidikan maupun ekonomi Masyarakat Indonesia terbukti dalam beberapa
pemilu setelah masa reformasi sangat berpengaruh, inilah yang menimbulkan
maraknya praktek menyimpang seperti Money Politic. Yang kemudian sangat
menciderai sistem demokrasi yang dibangun oleh bangsa Indonesia agar tercipta
good governance. Oleh karena itu, Penulis akan memberikan gambaran
mengenai permasalah pemilaihan kepala daerah pada masa otonimi daerah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia?
2. Apa permasalahan yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah di era otonomi
daerah?
3. Apa Solusi untuk mengatasi permasalahan dalam pemilihan kepala daerah di
era otonomi daerah ini?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia
Pilkada adalah untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi
politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan diselenggarakan pemilihan umum, dimana
pemilihan umum secara langsung oleh rakyat
merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengalaman sejarah kemimpinan nasional di Indonesia
menunjukan adanya pembatasan ruang gerak demokrasi yang dimilik oleh rakyat.
Hal ini tecermin sejak kepemimpinan nasional yaitu sejak indonesia merdeka
sampai era reformasi, Presiden tidak di pilih langsun oleh rakyat. Hal tersebut
dijadikan tolak ukur untuk menentukan negra itu demokrasi atau tidak , walaupun
demokrasi tidak smata-mata ditentukan adeanya pemilihan oleh rakayat secara
langsung. Sejak merdeka sampai reformasi di kumandagkan kepemimpinan
diindonesia selalu mengalami permasalahan. Presiden yang pertama , yaitu
Presiden Soekarno telah memimpin Indonesia dari 1945 sampai turunya Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966. Peresiden sukarno tidak di pilih baik
secara parlemen ataupun secara langsung oleh rakyat. Kemudian Presiden yang
kedua yaitu Presiden Soeharto walaupun sudah dipilih melalui parlemen, tetapi
pemerintahanya seperti tidak ada batasan yang mengaturnya, Sehingga Presiden
Soeharto dapat terus berkuasa sampai akhirnya dipaksan untuk turun jabatan
melalui reformasi lalu digantikan oleh wakilnya, Habibie.
Pejalan sejarah kepemimpinan nasional tersebutlah yang
menyebabkan munculnya tuntutan untuk diadakan pemilihan secara langsun oleh
rakyat, baik itu pemilihan presiden dan wakilnya maupun pemilihan kepala
daerah. Pemilihan secara langsung pada dasarnya
merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis (
kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung jawab.
Diterapkannya
pilkada merupakan event demokrasi yang bermakna dalam sejarah politik
Indonesia. Untuk pertama kali kontestasi kepala daerah dengan pemilihan
langsung oleh rakyat diterapkan setelah lebih separuh abad republik ini
menyatakan kemerdekaan-nya. Ini juga bersifat koheren dengan penyelenggaraan
pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung (Pasal 6 A UUD 1945). Dalam
konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, pilkada bisa jadi merupakan pilar
yang bersifat memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional. Sebagaimana
dinyatakan oleh Tip O’ Neill, “all politics is local”,1 yang berarti demokrasi
akan berkembang subur dan terbangun kuat di aras nasional apabila dalam
tingkatan yang lebih rendah (lokal) nilai-nilai demokrasi berakar kuat. Pilkada
mewujudkan makna tersebut. Dengan pemahaman seperti itu, penyelenggaraan
pilkadal dapat memberikan dampak positif terhadap penguatan demokrasi di
Indonesia.
Pertama, partisipasi politik. Dalam
pilkadal, rakyat terlibat langsung untuk menentukan siapa layak (memiliki
kredibilitas dan kapabilitas memperjuangkan aspirasi dan memenuhi kepentingan
rakyat) menjadi “pelayan” (pejabat publik) mereka. Melalui proses semacam itu,
dapat tumbuh kesadaran bahwa merekalah (rakyat) pemegang kedaulatan politik
yang sebenarnya. Termasuk dalam kesadaran ini adalah kehati-hatian dalam
menentukan pilihan, sebab kesalahan memilih dapat membawa akibat buruk terhadap
kehidupan mereka.
Kedua, kompetisi politik. Pilkada
membuka ruang untuk kompetisi yang fair dan adil antara kontestan yang
bersaing. Diharapkan tidak ada lagi suatu kontestan dari partai politik
tertentu mendominasi secara terus menerus proses yang berlangsung dan menutup
ruang bagi kelompok lainnya untuk turut berkompetisi secara fair.
Ketiga, legitimasi politik. Berbeda
dengan cara pilkada tidak langsung seperti yang diterapkan sebelumnya, yakni
melalui institusi DPRD, pilkada akan memberikan legitimasi yang kuat kepada
kepemimpinan daerah terpilih. Dalam mekanisme pemilihan langsung ini,
kepemimpinan yang terwujud akan merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan
kepentingan konstituen pemilih (rakyat). Sehingga dapat dipastikan bahwa
kandidat yang terpilih secara demokratis mendapat dukungan dari bagian besar
dari masyarakat pemilih. Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh
DPRD bersifat elitis yang kerap kali menelikung aspirasi rakyat.
Keempat,
minimalisasi manipulasi dan kecurangan. Salah satu unsur yang mendorong
penyelenggaraan pilkadal adalah maraknya berbagai kasus money politics dan
bentuk kecurangan lainnya dalam praktek pemilihan kepala daerah yang selama ini
terjadi. Intervensi pemerintah memang dapat diminimalisasi dalam pilkada selama
hampir 4 tahun otonomi daerah dilangsungkan. Namun bandul permasalahan kini
malah berayun ke tubuh lembaga perwakilan daerah yang diberi kewenangan memilih
kepala daerah. Politik uang (money politics) terjadi hampir secara merata ke
seluruh daerah.
Kelima, accountability. Dalam pemilihan
langsung oleh rakyat, accountability kepala daerah menjadi sangat penting.
Sebab, apabila rakyat sebagai pemilih menilai bahwa kepala daerah yang terpilih
ternyata tidak dapat menjalankan tugas-tugasnya secara baik dan bertanggung
jawab, rakyat akan memberikan sanksi dalam pilkadal berikutnya dengan tidak
memilihnya kembali.
B. Permasalah
Pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan kepala daerah secara langsung pada
dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih
demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung jawab. Selain itu, pemilihan secara langsung
tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar
distribusi pemerintahan secara vertikal . Implementasi dari pemilihan kepala
daerah pada dasarnya dapat memenuhi ekspektasi pemerintahan khususnya warga
masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan langsung warga masyarakat dapat
memilih pemimpin yang dianggap memiliki kapabilitas dan kompetensi yang baik
dalam memimpin daerahanya, namun yang terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit
untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik yang menyebabkan
berbagain masalah.
Masal yang pertama yaitu berkaitan dengan pencalonan. Sejumlah ketentuan
mengatur tentang hal ini. Pasal 59 ayat 1 menyebutkan: “Peserta pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan
secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Dalam
Pasal 59 (2) dinyatakan bahwa yang dapat mendaftarkan pasangan calon adalah
parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 15% (lima belas persen) dari
jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu
DPRD. Keberadaan calon perseorangan dinyatakan dalam pasal 59 (3), bahwa
“Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang
seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui
mekanisme yang demokratis dan transparan.” Ketentuan-ketentuan ini nampak
kurang memihak pada prinsip partisipasi dan kompetisi politik. Sebaliknya,
kepentingan-kepentingan partai politik, terutama partai-partai besar, kelihatan
menonjol. Ayat 1 di atas, misalnya, menegaskan sebenarnya bahwa hanya melalui
partai politik pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat
dinominasi atau menominasikan diri untuk pilkadal ini. Ketentuan semacam ini
membatasi partisipasi publik, dan sebaliknya mengutamakan partai politik.
Apalagi jika dikaitkan dengan ketentuan berikutnya pada ayat 2, hanya
partai-partai besar dapat berpartisipasi dalam proses pemilihan ini. Lebih dari
itu, ayat 3 tidak memberikan jaminan bahwa mekanisme seleksi calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah oleh partai politik akan dilangsungkan secara
demokratis dan transparan. Sebab ketentuan ini amat longgar, karena tidak
memberikan batasan yang jelas tentang kedua mekanisme tersebut dan sanksi yang
tegas jika kewajiban ini tidak dilaksanakan. Dengan ketentuan seperti ini,
kompetisi menjadi terbatas dan tertutup yang hasilnya bisa jadi merupakan
transaksi politik “bawah tangan.” Calon-calon yang berkualitas, kompeten dan
kapable, serta bersih dalam proses pilkada mungkin sekali akan sulit diperoleh.
Kedua, soal penyelenggara pilkada. Dalam pasal
57 ayat 1 ditegaskan bahwa pilkadal diselenggarakan oleh KPUD yang
bertanggungjawab kepada DPRD. Selanjutnya pasal 65 ayat 4 menyatakan bahwa KPUD
berpedoman kepada Peraturan Pemerintah (PP) dalam melaksanakan tugas persiapan
dan pelaksanaan pilkadal. Persoalan yang dikhawatirkan dari kenyataan ini
adalah rawannya KPUD dari intervensi dan tekanan dari elite ataupun massa
partai politik lokal, terutama dalam masalah tarik ulur pencalonan. Di samping
itu, pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD mengandung beberapa ketidakjelasan. UU
tersebut tidak merinci bentuk dan proses
pertanggungjawaban serta pelaporan KPUD kepada DPRD. Termasuk
konsekuensi-konsekuensi yang dimunculkan apabila DPRD ternyata mengambil sikap
menolak pertanggung-jawaban yang disampaikan KPUD. Selain itu, DPRD juga akan
menjadi sasaran politis, mulai sejak proses awal, ketika ketidak-puasan muncul
di kalangan konstituen tertentu. Persoalan lain yang bersifat lebih substansiil
terkait dengan penyelenggara-an pilkada yang bergantung pada Peraturan
Pemerintah. Hal ini merupakan kemunduran dari visi penyelenggaraaan pemilu yang
jurdil yang bebas dari intervensi pemerintah, dan dengan demikian merupakan
kemunduran pula bagi demokratisasi di Indonesia. Ditambah dengan kedudukan KPUD
sebagai institusi penyelenggara pilkadal, persoalan menjadi melebar kepada
masalah “pertentangan” dengan UUD 1945, yang pada pasal 22 menggariskan bahwa
Pemilu dilaksanakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Kenyataan
ini menyuratkan secara jelas bahwa pemilihan kepala daerah tidak dianggap
sebagai bagian dari pemilih umum. Mungkin saja kesalahan terdapat pada UUD 1945
yang tidak menyatakan pilkadal sebagai bagian dari pemilihan umum. Tetapi,
sepanjang pilkadal dinyatakan sebagai proses pemilihan yang mendasarkan pada
prinsip-prinsip pemilihan umum, maka sulit untuk menerima logika yang
mendudukkan pilkadal bukan bagian dari pemilihan umum. Karena itu, wajar saja
jika terdapat kecurigaan kuat bahwa pilkadal memang sengaja didudukkan di bawah
“rezim” pemerintahan daerah untuk maksud-maksud politis yang menguntungkan
pemerintah pusat.
Ketiga,
terkait dengan kepanitian pengawas pilkadal. Pengawas dalam penyelenggaraan
pilkadal dibentuk oleh DPRD (Pasal 57 ayat 7). Panitia Pengawas terdiri atas
unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat.
Panitia Pengawas juga bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban
menyampaikan laporannya. Adanya ketentuan menyangkut unsur perguruan tinggi dan
press sebagai anggota Panitia Pengawas terasa berlebihan. Bisa jadi nantinya
anggota Panitia Pengawas di tingkat kabupaten/ kota didominasi oleh orang-orang
yang berasal dari ibukota provinsi, mengingat sebagian besar kabupaten/kota
tidak memilik press dan perguruan tinggi. Duplikasi pelaksanaan pemilu nasional
(legislatif, DPD dan presiden/wakil presiden) ke dalam pemilu lokal ini
seolah-seolah menggeneralisasi persoalan. Persoalan lain yang muncul terkait
dengan independensi Panitia Pengawas. Sebab, DPRD merupakan “kepanjangan tangan
parpol” yang turut terlibat dan sarat kepentingan dalam penyelenggaraan pilkada
langsung, berikut hasil akhirnya. Dapat dipastikan parpol akan berlomba-lomba
menaruh “orangnya” dalam komposisi kepanitiaan pengawas pilkada. Dengan demikian
dikhawatirkan Panitia Pengawas akan menjadi kepanjangan kepentingan partai
politik dalam menjalankan tugasnya, dan karena itu, tidak lagi bersifat
independen.
Keempat, berkaitan dengan penetapan hasil
pemilihan. Antara pasal 107 (1) dan 107 (2) terjadi kontradiksi terkait dengan
jumlah suara sah untuk penetapan pasangan calon terpilih. Pada pasal 107 (1)
dinyatakan calon yang memperoleh lebih dari 50% suara sah langsung ditetapkan
sebagai pasangan terpilih. Tetapi ketentuan ini dibatalkan oleh ayat 2 yang
menegaskan bahwa peraih suara terbanyak di atas 25 % dinyatakan sebagai
pasangan calon terpilih. Apabila ketentuan ini diberlakukan (paling besar
diatas 25% dinyatakan terpilih), persoalan mendasar yang muncul akan berkaitan
dengan kulaitas legitimasi. Pilkada dengan demikian memberikan kemungkinan
terbentuknya pemerintahan “minoritas” dengan legitimasi yang lemah.
Pemerintahan seperti ini mungkin sekali bukan merupakan pemerintahan yang
menyelesaikan masalah, sebaliknya justru bisa jadi sumber masalah-masalah baru
di daerah. Banyak persoalan lain masih dapat dirinci dari pengaturan politis
tentang pilkadal. Tetapi, beberapa catatan di atas kiranya cukup untuk
menunjukkan bahwa meski pilkada dapat memacu demokratisasi pada tingkat lokal,
penyelenggaraannya mengandung banyak kelemahan yang dapat mengganggu
langkah-langkah maju demokratisasi di daerah. Jika kelemahan ini tidak segera
di atasi, pilkada malahan dapat menimbulkan komplikasi persoalan justru setelah
proses pemilihan kepala daerah menetapkan hasil-hasilnya.
Selain beberapa masalah di atas masih ada
beberapa masalah klasik yang membayangi pemilihan kepala daerah secara lansung
seperti :
1. Money Politik
Rendahnya pengetahuan dan
partisipasi masyarakat membuat masyarakat mudah dipengaruhi oleh money politik,
belum lagi keadaan ekonomi yang lemah sangat mendukung money politik ini.
Contoh yang nyata dialami oleh penulis ketika pilkada kabupaten Bandung
beberapa waktu lalu di daerah cibiru ada salah satu tim sukses pasangan calon
bupati yang membagi-bagikan uang dan sembako dengan kesepakatan untuk memilih
pasangan calon tersebut. Ini menunjukan bahwa pilkada masih kental dengan money
politik dan menjadi masalah yang sangat serius dalam proses demokrasi.
2. Intimidasi
Selain money politik yang sasarannya
untu masyarakat golongan ekonomi lemah, intimidasi dengan kekerasan sering
terjadi untuk memaksakan kehendak dalam pilkada sehingga calonnya terpilih.
Menggunakan kekerasan intimidasi terhadap masyarakat sangat beresiko fatal
sebab selain mencederai proses demokratisasi juga berpotensiterjadinya konflik
horizontal. Hal ini sangat bertentangan dengan asas penyelenggaraan pilkada
yang luber dan jurdil.
3. Mendahului start kampanye
Pelanggaran ini juga sangat sering
terjadi, pemasangan alat peraga kampanye padahal belum memasuki masa kampanye
sangat sering kita jumpai sehingga merusak pemandangan kota. Di samping itu
juga pemanfaatan media televisi juga sering dilakukan padah belum memasuki
jadwal kampanye.
4.
Black Campaign
Pelanggaran ini bisa bersifat
fitnah, tuduhan atau peruasakan nama baik calon yang satu oleh calon yang lain.
Pelanggaran ini jelas sangat merusak citra demokrasi yang seharusnya santun
dalam berpolitik.
C.
Solusi Permasalahan Pemilihan Kepala Daerah
Diperlukan suatu terobosan dalam melihat kembali
pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa kekurangan-kekurangan
yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini. Setidaknya kita tidak
berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena konflik antar
pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa banyak dana lagi
yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam proses pilkada, dan
kemunduran pendidikan politik yang menciptakan pemilih-pemilih yang primitif,
tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.
Dengan melihat praktek yang terjadi tentunya
sudah pantasnya pemerintah melakukan evaluasi mengenai kekurangan-kekurangan
tersebut. Presiden RI ketiga B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan
tonggak demokrasi yang penting di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi
sinergi antara kemerdekaan dan kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya
dikembalikan kepada rakyat. Presiden/Wapres dan Pilkada dipilih secara langsung
oleh rakyat. Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang
sudah sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah
yang besar, maka efektifitas system pemilihan gubernur secara langsung perlu
dilakukan peninjauan kembali sebagai berikut:
a. Tinjauan yuridis
Berdasar:
1)
Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa,
"kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang",
2)
Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa,
"Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis",
3)
Pasal 28D ayat (3) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakanbahwa, "setiap
warga negera berhak memperoleh kesempatan yg sama dalam pemerintahan",
Bahwa
tidak ada perintah pemilihan
gubernur dipilih secara langsung, sehingga pemilihan gubernur dilakukan melalui system perwakilan tidak bertentangan dengan
konstitusi.
b. Tinjauan filosofis
1) Dari
sisi ruang partisipasi rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui sistem
perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah
dibanding dengan system pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk
dipilih sama, jika persyaratan calon gubernur sama.
2) Dari
sisi ruang partisipasi rakyat utk dipilih, baik sistem pemilihan secara
langsung maupun melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan
bagi kedua sstem tersebut sama.
3) Dari
sisi terbukanya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah
(provinsi) kurang dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi
operasional berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas
kebijakan yang terkait dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4) Dari
sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat
dan daerah, pemilihan Gubernur melalui perwakilan dimana selain DPRD,
Pemerintah juga mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur akan memiliki
nilai yang lebih baik, karena di satu sisi gubernur harus menjamin
terlaksananya kebijakan pemerintah pusat di daerah, di sisi lain Gubernur juga
harus memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah yang direpresentasikan
oleh DPRD.
5) Dari
sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin
dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka
posisi Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi
pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh
rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran.
6) Dari
sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam
memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal
yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi penentuan
gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan
biaya yang harus dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.
c. Tinjauan Politis
1)
Perkuatan sistem NKRI.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun
1945 bahwa Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan. Sistem ini bertujuan
untuk menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan
jumlah daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi
rentang kendali pemerintahan diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang
kuat dengan pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan
dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur.
Untuk itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga
adanya peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki
nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
2)
Penataan posisi gubernur dan sumber legitimasi.
Pemilihan
gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan bupati/walikota
telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota sebagai kepala
daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang besar yang
membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat daerah yang
membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai kepala daerah
sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan gubernur sebagai kepala
daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka sumber legitimasi gubernur
akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
d. Tinjauan Sosiologis
1)
Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat.
Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang
masih mementingkan kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan
belum mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara
langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam menumbuhkan
budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui pengaturan tertentu
pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon bersaing secara sehat.
2)
Menumbuhkan kesadaran akan
kebutuhan pemimpin yang
mampu membawa kemajuan daerah.
Dalam
kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan
program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk
menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan
daerah, dibanding dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat
setidaknya akan mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas
pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
e. Tinjauan efektifitas dan efisiensi
Dari
segi kemudahan untuk dilaksanakan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan
pemilihan kepala daerah melalui perwakilan jauh lebih baik dibanding dengan
melalui Pilkada secara langsung. Berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis,
sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung lebih banyak
kelemahannya dibandingkan dengan jika dipilih melalui sistem perwakilan.
Selanjutnya
perlu juga diperhatikan mengenai sistem pemilihan wakil kepala daerah, di mana
dalam UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur,
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD
Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan
dengan kepala daerah. Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung
berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian dengan
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam
perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang,
banyak terjadi hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak
harmonis, sehingga adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat membantu atau
terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling
melemahkan. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang
juga sarat dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan
wakil kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver
politik yang saling menjatuhkan. Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak
harmonis tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala
daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat
menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemilihan kepala daerah atau yang sering di sebut pilkadamerupakan adalah pemilihan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah
sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah. Pemilihan kepala daerah
pada era otonomi daerah ini merupakan sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat
yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal
ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat”. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut
menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi
pemerintahan secara vertikal.
Akan tetapi, Pelakasanaan pilkada yang di
laksanakan di indonesia belum sesuai dengan harapan dan tujuan. Berbagi
permaslahan timbul di dalam pemilihan kepala daerah, seperti Persainmgan yang
kurang jujur antara pratai politik, Konfilik antar pendukung kepala daerah,
Pelaksananan Pemilihan kepala daerah yang belum sesuai ,Money Politik dan masih
banyak lagi.
Diperlukan suatu terobosan untuk
mengatasi permaslahan-permasalah yang tersebut.salah satunya dengan melihat
kembali pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa
kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini.
Setidaknya kita tidak berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena
konflik antar pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa
banyak dana lagi yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam
proses pilkada, dan kemunduran pendidikan politik yang menciptakan
pemilih-pemilih yang primitif, tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.
Daftar
Pustaka
Ibrahim,
Ahmad.2013. Dinamika Politik Lokal . Bandung:
Mandar Maju
Irtanto. 2008. Dinamika
Politik Lokal Era Otonomi Daerah. Surabaya : Pustaka Pelajar
Santoso, Agus.
2013. Menyikap Tabir Otonomi Daerah di Indonesia. Samarinda
: Puataka Pelajar
Sentosa, Sembiring. 2009. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia, Pemerintahan Daerah (Pemda). Bandung: Nuansa Aulia
Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
PERMASALAHAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH
(PEMULUKADA)
(
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah otonomi daerah)
Disusun Oleh:
Nama : Fathur Rozi
NIM : 3601414027
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNNES 2015
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu hasil glombang
reformasi yang terjadi tahun 1998 adalah UU no. 22 tahun 1999, yang kemudian di
ganti dengan uu no. 32 tahun 2004, serta mengalami pergantian dengan uu.no 23
tahun 2014 yaitu tentang pemerintah daerah atau yang lebih di kenal dengan
otonomi daerah. Kehadiran Undang-undang tersebut merupakan peluang untuk
mewujuddkan aspirasi daerah yaitu keinginan untuk memiliki kepala daerah atau
pemimpin lokal yang di sepakat oleh rakyat melalui pemilihan umum. Secara
teknis pemilihan umum merupakan sarana Pelaksanaan
Kedaulatan Rakyat yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat”, seperti yang diamanatkan dalam UUD Negara Republik
Indonesia tahun 1945 pasal 1 ayat 2. Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk
memilih wakil rakyat baik ditingkat pemerintahan pusat maupun
pemerintahan daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat,
dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional
sebagaimana yang diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pemilihan
kepala daerah sudah ada sejak era orde lama dengan penunjukkan langsung, hingga
memasuki era orde baru dengan sistem sentralistik serta sekarang ini era
revormasi di mana pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan
secara terbuka, yakni dipilih oleh warga masyarakat secara langsung. Pemilihan
kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik
bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta
transparan dan bertanggung jawab. Selain
itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan
demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal
. Implementasi dari pemilihan kepala daerah pada dasarnya dapat memenuhi
ekspektasi pemerintahan khususnya warga masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan
langsung warga masyarakat dapat memilih pemimpin yang dianggap memiliki
kapabilitas dan kompetensi yang baik dalam memimpin daerahanya, namun yang
terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik dan juga tingkat pendidikan serta tingkat ekonomi pemilih dalam pemilihan umum yang memengaruhi para pemilih dalam memilih kepala daerah. Tingkat
pendidikan maupun ekonomi Masyarakat Indonesia terbukti dalam beberapa
pemilu setelah masa reformasi sangat berpengaruh, inilah yang menimbulkan
maraknya praktek menyimpang seperti Money Politic. Yang kemudian sangat
menciderai sistem demokrasi yang dibangun oleh bangsa Indonesia agar tercipta
good governance. Oleh karena itu, Penulis akan memberikan gambaran
mengenai permasalah pemilaihan kepala daerah pada masa otonimi daerah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia?
2. Apa permasalahan yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah di era otonomi
daerah?
3. Apa Solusi untuk mengatasi permasalahan dalam pemilihan kepala daerah di
era otonomi daerah ini?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia
Pilkada adalah untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi
politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan diselenggarakan pemilihan umum, dimana
pemilihan umum secara langsung oleh rakyat
merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengalaman sejarah kemimpinan nasional di Indonesia
menunjukan adanya pembatasan ruang gerak demokrasi yang dimilik oleh rakyat.
Hal ini tecermin sejak kepemimpinan nasional yaitu sejak indonesia merdeka
sampai era reformasi, Presiden tidak di pilih langsun oleh rakyat. Hal tersebut
dijadikan tolak ukur untuk menentukan negra itu demokrasi atau tidak , walaupun
demokrasi tidak smata-mata ditentukan adeanya pemilihan oleh rakayat secara
langsung. Sejak merdeka sampai reformasi di kumandagkan kepemimpinan
diindonesia selalu mengalami permasalahan. Presiden yang pertama , yaitu
Presiden Soekarno telah memimpin Indonesia dari 1945 sampai turunya Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966. Peresiden sukarno tidak di pilih baik
secara parlemen ataupun secara langsung oleh rakyat. Kemudian Presiden yang
kedua yaitu Presiden Soeharto walaupun sudah dipilih melalui parlemen, tetapi
pemerintahanya seperti tidak ada batasan yang mengaturnya, Sehingga Presiden
Soeharto dapat terus berkuasa sampai akhirnya dipaksan untuk turun jabatan
melalui reformasi lalu digantikan oleh wakilnya, Habibie.
Pejalan sejarah kepemimpinan nasional tersebutlah yang
menyebabkan munculnya tuntutan untuk diadakan pemilihan secara langsun oleh
rakyat, baik itu pemilihan presiden dan wakilnya maupun pemilihan kepala
daerah. Pemilihan secara langsung pada dasarnya
merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis (
kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung jawab.
Diterapkannya
pilkada merupakan event demokrasi yang bermakna dalam sejarah politik
Indonesia. Untuk pertama kali kontestasi kepala daerah dengan pemilihan
langsung oleh rakyat diterapkan setelah lebih separuh abad republik ini
menyatakan kemerdekaan-nya. Ini juga bersifat koheren dengan penyelenggaraan
pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung (Pasal 6 A UUD 1945). Dalam
konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, pilkada bisa jadi merupakan pilar
yang bersifat memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional. Sebagaimana
dinyatakan oleh Tip O’ Neill, “all politics is local”,1 yang berarti demokrasi
akan berkembang subur dan terbangun kuat di aras nasional apabila dalam
tingkatan yang lebih rendah (lokal) nilai-nilai demokrasi berakar kuat. Pilkada
mewujudkan makna tersebut. Dengan pemahaman seperti itu, penyelenggaraan
pilkadal dapat memberikan dampak positif terhadap penguatan demokrasi di
Indonesia.
Pertama, partisipasi politik. Dalam
pilkadal, rakyat terlibat langsung untuk menentukan siapa layak (memiliki
kredibilitas dan kapabilitas memperjuangkan aspirasi dan memenuhi kepentingan
rakyat) menjadi “pelayan” (pejabat publik) mereka. Melalui proses semacam itu,
dapat tumbuh kesadaran bahwa merekalah (rakyat) pemegang kedaulatan politik
yang sebenarnya. Termasuk dalam kesadaran ini adalah kehati-hatian dalam
menentukan pilihan, sebab kesalahan memilih dapat membawa akibat buruk terhadap
kehidupan mereka.
Kedua, kompetisi politik. Pilkada
membuka ruang untuk kompetisi yang fair dan adil antara kontestan yang
bersaing. Diharapkan tidak ada lagi suatu kontestan dari partai politik
tertentu mendominasi secara terus menerus proses yang berlangsung dan menutup
ruang bagi kelompok lainnya untuk turut berkompetisi secara fair.
Ketiga, legitimasi politik. Berbeda
dengan cara pilkada tidak langsung seperti yang diterapkan sebelumnya, yakni
melalui institusi DPRD, pilkada akan memberikan legitimasi yang kuat kepada
kepemimpinan daerah terpilih. Dalam mekanisme pemilihan langsung ini,
kepemimpinan yang terwujud akan merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan
kepentingan konstituen pemilih (rakyat). Sehingga dapat dipastikan bahwa
kandidat yang terpilih secara demokratis mendapat dukungan dari bagian besar
dari masyarakat pemilih. Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh
DPRD bersifat elitis yang kerap kali menelikung aspirasi rakyat.
Keempat,
minimalisasi manipulasi dan kecurangan. Salah satu unsur yang mendorong
penyelenggaraan pilkadal adalah maraknya berbagai kasus money politics dan
bentuk kecurangan lainnya dalam praktek pemilihan kepala daerah yang selama ini
terjadi. Intervensi pemerintah memang dapat diminimalisasi dalam pilkada selama
hampir 4 tahun otonomi daerah dilangsungkan. Namun bandul permasalahan kini
malah berayun ke tubuh lembaga perwakilan daerah yang diberi kewenangan memilih
kepala daerah. Politik uang (money politics) terjadi hampir secara merata ke
seluruh daerah.
Kelima, accountability. Dalam pemilihan
langsung oleh rakyat, accountability kepala daerah menjadi sangat penting.
Sebab, apabila rakyat sebagai pemilih menilai bahwa kepala daerah yang terpilih
ternyata tidak dapat menjalankan tugas-tugasnya secara baik dan bertanggung
jawab, rakyat akan memberikan sanksi dalam pilkadal berikutnya dengan tidak
memilihnya kembali.
B. Permasalah
Pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan kepala daerah secara langsung pada
dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih
demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung jawab. Selain itu, pemilihan secara langsung
tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar
distribusi pemerintahan secara vertikal . Implementasi dari pemilihan kepala
daerah pada dasarnya dapat memenuhi ekspektasi pemerintahan khususnya warga
masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan langsung warga masyarakat dapat
memilih pemimpin yang dianggap memiliki kapabilitas dan kompetensi yang baik
dalam memimpin daerahanya, namun yang terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit
untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik yang menyebabkan
berbagain masalah.
Masal yang pertama yaitu berkaitan dengan pencalonan. Sejumlah ketentuan
mengatur tentang hal ini. Pasal 59 ayat 1 menyebutkan: “Peserta pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan
secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Dalam
Pasal 59 (2) dinyatakan bahwa yang dapat mendaftarkan pasangan calon adalah
parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 15% (lima belas persen) dari
jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu
DPRD. Keberadaan calon perseorangan dinyatakan dalam pasal 59 (3), bahwa
“Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang
seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui
mekanisme yang demokratis dan transparan.” Ketentuan-ketentuan ini nampak
kurang memihak pada prinsip partisipasi dan kompetisi politik. Sebaliknya,
kepentingan-kepentingan partai politik, terutama partai-partai besar, kelihatan
menonjol. Ayat 1 di atas, misalnya, menegaskan sebenarnya bahwa hanya melalui
partai politik pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat
dinominasi atau menominasikan diri untuk pilkadal ini. Ketentuan semacam ini
membatasi partisipasi publik, dan sebaliknya mengutamakan partai politik.
Apalagi jika dikaitkan dengan ketentuan berikutnya pada ayat 2, hanya
partai-partai besar dapat berpartisipasi dalam proses pemilihan ini. Lebih dari
itu, ayat 3 tidak memberikan jaminan bahwa mekanisme seleksi calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah oleh partai politik akan dilangsungkan secara
demokratis dan transparan. Sebab ketentuan ini amat longgar, karena tidak
memberikan batasan yang jelas tentang kedua mekanisme tersebut dan sanksi yang
tegas jika kewajiban ini tidak dilaksanakan. Dengan ketentuan seperti ini,
kompetisi menjadi terbatas dan tertutup yang hasilnya bisa jadi merupakan
transaksi politik “bawah tangan.” Calon-calon yang berkualitas, kompeten dan
kapable, serta bersih dalam proses pilkada mungkin sekali akan sulit diperoleh.
Kedua, soal penyelenggara pilkada. Dalam pasal
57 ayat 1 ditegaskan bahwa pilkadal diselenggarakan oleh KPUD yang
bertanggungjawab kepada DPRD. Selanjutnya pasal 65 ayat 4 menyatakan bahwa KPUD
berpedoman kepada Peraturan Pemerintah (PP) dalam melaksanakan tugas persiapan
dan pelaksanaan pilkadal. Persoalan yang dikhawatirkan dari kenyataan ini
adalah rawannya KPUD dari intervensi dan tekanan dari elite ataupun massa
partai politik lokal, terutama dalam masalah tarik ulur pencalonan. Di samping
itu, pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD mengandung beberapa ketidakjelasan. UU
tersebut tidak merinci bentuk dan proses
pertanggungjawaban serta pelaporan KPUD kepada DPRD. Termasuk
konsekuensi-konsekuensi yang dimunculkan apabila DPRD ternyata mengambil sikap
menolak pertanggung-jawaban yang disampaikan KPUD. Selain itu, DPRD juga akan
menjadi sasaran politis, mulai sejak proses awal, ketika ketidak-puasan muncul
di kalangan konstituen tertentu. Persoalan lain yang bersifat lebih substansiil
terkait dengan penyelenggara-an pilkada yang bergantung pada Peraturan
Pemerintah. Hal ini merupakan kemunduran dari visi penyelenggaraaan pemilu yang
jurdil yang bebas dari intervensi pemerintah, dan dengan demikian merupakan
kemunduran pula bagi demokratisasi di Indonesia. Ditambah dengan kedudukan KPUD
sebagai institusi penyelenggara pilkadal, persoalan menjadi melebar kepada
masalah “pertentangan” dengan UUD 1945, yang pada pasal 22 menggariskan bahwa
Pemilu dilaksanakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Kenyataan
ini menyuratkan secara jelas bahwa pemilihan kepala daerah tidak dianggap
sebagai bagian dari pemilih umum. Mungkin saja kesalahan terdapat pada UUD 1945
yang tidak menyatakan pilkadal sebagai bagian dari pemilihan umum. Tetapi,
sepanjang pilkadal dinyatakan sebagai proses pemilihan yang mendasarkan pada
prinsip-prinsip pemilihan umum, maka sulit untuk menerima logika yang
mendudukkan pilkadal bukan bagian dari pemilihan umum. Karena itu, wajar saja
jika terdapat kecurigaan kuat bahwa pilkadal memang sengaja didudukkan di bawah
“rezim” pemerintahan daerah untuk maksud-maksud politis yang menguntungkan
pemerintah pusat.
Ketiga,
terkait dengan kepanitian pengawas pilkadal. Pengawas dalam penyelenggaraan
pilkadal dibentuk oleh DPRD (Pasal 57 ayat 7). Panitia Pengawas terdiri atas
unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat.
Panitia Pengawas juga bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban
menyampaikan laporannya. Adanya ketentuan menyangkut unsur perguruan tinggi dan
press sebagai anggota Panitia Pengawas terasa berlebihan. Bisa jadi nantinya
anggota Panitia Pengawas di tingkat kabupaten/ kota didominasi oleh orang-orang
yang berasal dari ibukota provinsi, mengingat sebagian besar kabupaten/kota
tidak memilik press dan perguruan tinggi. Duplikasi pelaksanaan pemilu nasional
(legislatif, DPD dan presiden/wakil presiden) ke dalam pemilu lokal ini
seolah-seolah menggeneralisasi persoalan. Persoalan lain yang muncul terkait
dengan independensi Panitia Pengawas. Sebab, DPRD merupakan “kepanjangan tangan
parpol” yang turut terlibat dan sarat kepentingan dalam penyelenggaraan pilkada
langsung, berikut hasil akhirnya. Dapat dipastikan parpol akan berlomba-lomba
menaruh “orangnya” dalam komposisi kepanitiaan pengawas pilkada. Dengan demikian
dikhawatirkan Panitia Pengawas akan menjadi kepanjangan kepentingan partai
politik dalam menjalankan tugasnya, dan karena itu, tidak lagi bersifat
independen.
Keempat, berkaitan dengan penetapan hasil
pemilihan. Antara pasal 107 (1) dan 107 (2) terjadi kontradiksi terkait dengan
jumlah suara sah untuk penetapan pasangan calon terpilih. Pada pasal 107 (1)
dinyatakan calon yang memperoleh lebih dari 50% suara sah langsung ditetapkan
sebagai pasangan terpilih. Tetapi ketentuan ini dibatalkan oleh ayat 2 yang
menegaskan bahwa peraih suara terbanyak di atas 25 % dinyatakan sebagai
pasangan calon terpilih. Apabila ketentuan ini diberlakukan (paling besar
diatas 25% dinyatakan terpilih), persoalan mendasar yang muncul akan berkaitan
dengan kulaitas legitimasi. Pilkada dengan demikian memberikan kemungkinan
terbentuknya pemerintahan “minoritas” dengan legitimasi yang lemah.
Pemerintahan seperti ini mungkin sekali bukan merupakan pemerintahan yang
menyelesaikan masalah, sebaliknya justru bisa jadi sumber masalah-masalah baru
di daerah. Banyak persoalan lain masih dapat dirinci dari pengaturan politis
tentang pilkadal. Tetapi, beberapa catatan di atas kiranya cukup untuk
menunjukkan bahwa meski pilkada dapat memacu demokratisasi pada tingkat lokal,
penyelenggaraannya mengandung banyak kelemahan yang dapat mengganggu
langkah-langkah maju demokratisasi di daerah. Jika kelemahan ini tidak segera
di atasi, pilkada malahan dapat menimbulkan komplikasi persoalan justru setelah
proses pemilihan kepala daerah menetapkan hasil-hasilnya.
Selain beberapa masalah di atas masih ada
beberapa masalah klasik yang membayangi pemilihan kepala daerah secara lansung
seperti :
1. Money Politik
Rendahnya pengetahuan dan
partisipasi masyarakat membuat masyarakat mudah dipengaruhi oleh money politik,
belum lagi keadaan ekonomi yang lemah sangat mendukung money politik ini.
Contoh yang nyata dialami oleh penulis ketika pilkada kabupaten Bandung
beberapa waktu lalu di daerah cibiru ada salah satu tim sukses pasangan calon
bupati yang membagi-bagikan uang dan sembako dengan kesepakatan untuk memilih
pasangan calon tersebut. Ini menunjukan bahwa pilkada masih kental dengan money
politik dan menjadi masalah yang sangat serius dalam proses demokrasi.
2. Intimidasi
Selain money politik yang sasarannya
untu masyarakat golongan ekonomi lemah, intimidasi dengan kekerasan sering
terjadi untuk memaksakan kehendak dalam pilkada sehingga calonnya terpilih.
Menggunakan kekerasan intimidasi terhadap masyarakat sangat beresiko fatal
sebab selain mencederai proses demokratisasi juga berpotensiterjadinya konflik
horizontal. Hal ini sangat bertentangan dengan asas penyelenggaraan pilkada
yang luber dan jurdil.
3. Mendahului start kampanye
Pelanggaran ini juga sangat sering
terjadi, pemasangan alat peraga kampanye padahal belum memasuki masa kampanye
sangat sering kita jumpai sehingga merusak pemandangan kota. Di samping itu
juga pemanfaatan media televisi juga sering dilakukan padah belum memasuki
jadwal kampanye.
4.
Black Campaign
Pelanggaran ini bisa bersifat
fitnah, tuduhan atau peruasakan nama baik calon yang satu oleh calon yang lain.
Pelanggaran ini jelas sangat merusak citra demokrasi yang seharusnya santun
dalam berpolitik.
C.
Solusi Permasalahan Pemilihan Kepala Daerah
Diperlukan suatu terobosan dalam melihat kembali
pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa kekurangan-kekurangan
yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini. Setidaknya kita tidak
berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena konflik antar
pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa banyak dana lagi
yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam proses pilkada, dan
kemunduran pendidikan politik yang menciptakan pemilih-pemilih yang primitif,
tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.
Dengan melihat praktek yang terjadi tentunya
sudah pantasnya pemerintah melakukan evaluasi mengenai kekurangan-kekurangan
tersebut. Presiden RI ketiga B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan
tonggak demokrasi yang penting di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi
sinergi antara kemerdekaan dan kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya
dikembalikan kepada rakyat. Presiden/Wapres dan Pilkada dipilih secara langsung
oleh rakyat. Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang
sudah sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah
yang besar, maka efektifitas system pemilihan gubernur secara langsung perlu
dilakukan peninjauan kembali sebagai berikut:
a. Tinjauan yuridis
Berdasar:
1)
Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa,
"kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang",
2)
Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa,
"Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis",
3)
Pasal 28D ayat (3) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakanbahwa, "setiap
warga negera berhak memperoleh kesempatan yg sama dalam pemerintahan",
Bahwa
tidak ada perintah pemilihan
gubernur dipilih secara langsung, sehingga pemilihan gubernur dilakukan melalui system perwakilan tidak bertentangan dengan
konstitusi.
b. Tinjauan filosofis
1) Dari
sisi ruang partisipasi rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui sistem
perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah
dibanding dengan system pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk
dipilih sama, jika persyaratan calon gubernur sama.
2) Dari
sisi ruang partisipasi rakyat utk dipilih, baik sistem pemilihan secara
langsung maupun melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan
bagi kedua sstem tersebut sama.
3) Dari
sisi terbukanya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah
(provinsi) kurang dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi
operasional berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas
kebijakan yang terkait dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4) Dari
sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat
dan daerah, pemilihan Gubernur melalui perwakilan dimana selain DPRD,
Pemerintah juga mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur akan memiliki
nilai yang lebih baik, karena di satu sisi gubernur harus menjamin
terlaksananya kebijakan pemerintah pusat di daerah, di sisi lain Gubernur juga
harus memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah yang direpresentasikan
oleh DPRD.
5) Dari
sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin
dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka
posisi Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi
pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh
rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran.
6) Dari
sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam
memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal
yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi penentuan
gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan
biaya yang harus dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.
c. Tinjauan Politis
1)
Perkuatan sistem NKRI.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun
1945 bahwa Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan. Sistem ini bertujuan
untuk menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan
jumlah daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi
rentang kendali pemerintahan diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang
kuat dengan pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan
dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur.
Untuk itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga
adanya peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki
nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
2)
Penataan posisi gubernur dan sumber legitimasi.
Pemilihan
gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan bupati/walikota
telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota sebagai kepala
daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang besar yang
membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat daerah yang
membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai kepala daerah
sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan gubernur sebagai kepala
daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka sumber legitimasi gubernur
akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
d. Tinjauan Sosiologis
1)
Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat.
Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang
masih mementingkan kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan
belum mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara
langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam menumbuhkan
budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui pengaturan tertentu
pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon bersaing secara sehat.
2)
Menumbuhkan kesadaran akan
kebutuhan pemimpin yang
mampu membawa kemajuan daerah.
Dalam
kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan
program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk
menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan
daerah, dibanding dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat
setidaknya akan mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas
pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
e. Tinjauan efektifitas dan efisiensi
Dari
segi kemudahan untuk dilaksanakan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan
pemilihan kepala daerah melalui perwakilan jauh lebih baik dibanding dengan
melalui Pilkada secara langsung. Berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis,
sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung lebih banyak
kelemahannya dibandingkan dengan jika dipilih melalui sistem perwakilan.
Selanjutnya
perlu juga diperhatikan mengenai sistem pemilihan wakil kepala daerah, di mana
dalam UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur,
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD
Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan
dengan kepala daerah. Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung
berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian dengan
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam
perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang,
banyak terjadi hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak
harmonis, sehingga adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat membantu atau
terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling
melemahkan. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang
juga sarat dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan
wakil kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver
politik yang saling menjatuhkan. Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak
harmonis tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala
daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat
menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemilihan kepala daerah atau yang sering di sebut pilkadamerupakan adalah pemilihan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah
sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah. Pemilihan kepala daerah
pada era otonomi daerah ini merupakan sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat
yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal
ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat”. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut
menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi
pemerintahan secara vertikal.
Akan tetapi, Pelakasanaan pilkada yang di
laksanakan di indonesia belum sesuai dengan harapan dan tujuan. Berbagi
permaslahan timbul di dalam pemilihan kepala daerah, seperti Persainmgan yang
kurang jujur antara pratai politik, Konfilik antar pendukung kepala daerah,
Pelaksananan Pemilihan kepala daerah yang belum sesuai ,Money Politik dan masih
banyak lagi.
Diperlukan suatu terobosan untuk
mengatasi permaslahan-permasalah yang tersebut.salah satunya dengan melihat
kembali pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa
kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini.
Setidaknya kita tidak berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena
konflik antar pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa
banyak dana lagi yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam
proses pilkada, dan kemunduran pendidikan politik yang menciptakan
pemilih-pemilih yang primitif, tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.
Daftar
Pustaka
Ibrahim,
Ahmad.2013. Dinamika Politik Lokal . Bandung:
Mandar Maju
Irtanto. 2008. Dinamika
Politik Lokal Era Otonomi Daerah. Surabaya : Pustaka Pelajar
Santoso, Agus.
2013. Menyikap Tabir Otonomi Daerah di Indonesia. Samarinda
: Puataka Pelajar
Sentosa, Sembiring. 2009. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia, Pemerintahan Daerah (Pemda). Bandung: Nuansa Aulia
Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
PERMASALAHAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH
(PEMULUKADA)
(
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah otonomi daerah)
Disusun Oleh:
Nama : Fathur Rozi
NIM : 3601414027
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNNES 2015
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu hasil glombang
reformasi yang terjadi tahun 1998 adalah UU no. 22 tahun 1999, yang kemudian di
ganti dengan uu no. 32 tahun 2004, serta mengalami pergantian dengan uu.no 23
tahun 2014 yaitu tentang pemerintah daerah atau yang lebih di kenal dengan
otonomi daerah. Kehadiran Undang-undang tersebut merupakan peluang untuk
mewujuddkan aspirasi daerah yaitu keinginan untuk memiliki kepala daerah atau
pemimpin lokal yang di sepakat oleh rakyat melalui pemilihan umum. Secara
teknis pemilihan umum merupakan sarana Pelaksanaan
Kedaulatan Rakyat yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat”, seperti yang diamanatkan dalam UUD Negara Republik
Indonesia tahun 1945 pasal 1 ayat 2. Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk
memilih wakil rakyat baik ditingkat pemerintahan pusat maupun
pemerintahan daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat,
dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional
sebagaimana yang diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pemilihan
kepala daerah sudah ada sejak era orde lama dengan penunjukkan langsung, hingga
memasuki era orde baru dengan sistem sentralistik serta sekarang ini era
revormasi di mana pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan
secara terbuka, yakni dipilih oleh warga masyarakat secara langsung. Pemilihan
kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik
bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta
transparan dan bertanggung jawab. Selain
itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan
demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal
. Implementasi dari pemilihan kepala daerah pada dasarnya dapat memenuhi
ekspektasi pemerintahan khususnya warga masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan
langsung warga masyarakat dapat memilih pemimpin yang dianggap memiliki
kapabilitas dan kompetensi yang baik dalam memimpin daerahanya, namun yang
terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik dan juga tingkat pendidikan serta tingkat ekonomi pemilih dalam pemilihan umum yang memengaruhi para pemilih dalam memilih kepala daerah. Tingkat
pendidikan maupun ekonomi Masyarakat Indonesia terbukti dalam beberapa
pemilu setelah masa reformasi sangat berpengaruh, inilah yang menimbulkan
maraknya praktek menyimpang seperti Money Politic. Yang kemudian sangat
menciderai sistem demokrasi yang dibangun oleh bangsa Indonesia agar tercipta
good governance. Oleh karena itu, Penulis akan memberikan gambaran
mengenai permasalah pemilaihan kepala daerah pada masa otonimi daerah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia?
2. Apa permasalahan yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah di era otonomi
daerah?
3. Apa Solusi untuk mengatasi permasalahan dalam pemilihan kepala daerah di
era otonomi daerah ini?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia
Pilkada adalah untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi
politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan diselenggarakan pemilihan umum, dimana
pemilihan umum secara langsung oleh rakyat
merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengalaman sejarah kemimpinan nasional di Indonesia
menunjukan adanya pembatasan ruang gerak demokrasi yang dimilik oleh rakyat.
Hal ini tecermin sejak kepemimpinan nasional yaitu sejak indonesia merdeka
sampai era reformasi, Presiden tidak di pilih langsun oleh rakyat. Hal tersebut
dijadikan tolak ukur untuk menentukan negra itu demokrasi atau tidak , walaupun
demokrasi tidak smata-mata ditentukan adeanya pemilihan oleh rakayat secara
langsung. Sejak merdeka sampai reformasi di kumandagkan kepemimpinan
diindonesia selalu mengalami permasalahan. Presiden yang pertama , yaitu
Presiden Soekarno telah memimpin Indonesia dari 1945 sampai turunya Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966. Peresiden sukarno tidak di pilih baik
secara parlemen ataupun secara langsung oleh rakyat. Kemudian Presiden yang
kedua yaitu Presiden Soeharto walaupun sudah dipilih melalui parlemen, tetapi
pemerintahanya seperti tidak ada batasan yang mengaturnya, Sehingga Presiden
Soeharto dapat terus berkuasa sampai akhirnya dipaksan untuk turun jabatan
melalui reformasi lalu digantikan oleh wakilnya, Habibie.
Pejalan sejarah kepemimpinan nasional tersebutlah yang
menyebabkan munculnya tuntutan untuk diadakan pemilihan secara langsun oleh
rakyat, baik itu pemilihan presiden dan wakilnya maupun pemilihan kepala
daerah. Pemilihan secara langsung pada dasarnya
merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis (
kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung jawab.
Diterapkannya
pilkada merupakan event demokrasi yang bermakna dalam sejarah politik
Indonesia. Untuk pertama kali kontestasi kepala daerah dengan pemilihan
langsung oleh rakyat diterapkan setelah lebih separuh abad republik ini
menyatakan kemerdekaan-nya. Ini juga bersifat koheren dengan penyelenggaraan
pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung (Pasal 6 A UUD 1945). Dalam
konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, pilkada bisa jadi merupakan pilar
yang bersifat memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional. Sebagaimana
dinyatakan oleh Tip O’ Neill, “all politics is local”,1 yang berarti demokrasi
akan berkembang subur dan terbangun kuat di aras nasional apabila dalam
tingkatan yang lebih rendah (lokal) nilai-nilai demokrasi berakar kuat. Pilkada
mewujudkan makna tersebut. Dengan pemahaman seperti itu, penyelenggaraan
pilkadal dapat memberikan dampak positif terhadap penguatan demokrasi di
Indonesia.
Pertama, partisipasi politik. Dalam
pilkadal, rakyat terlibat langsung untuk menentukan siapa layak (memiliki
kredibilitas dan kapabilitas memperjuangkan aspirasi dan memenuhi kepentingan
rakyat) menjadi “pelayan” (pejabat publik) mereka. Melalui proses semacam itu,
dapat tumbuh kesadaran bahwa merekalah (rakyat) pemegang kedaulatan politik
yang sebenarnya. Termasuk dalam kesadaran ini adalah kehati-hatian dalam
menentukan pilihan, sebab kesalahan memilih dapat membawa akibat buruk terhadap
kehidupan mereka.
Kedua, kompetisi politik. Pilkada
membuka ruang untuk kompetisi yang fair dan adil antara kontestan yang
bersaing. Diharapkan tidak ada lagi suatu kontestan dari partai politik
tertentu mendominasi secara terus menerus proses yang berlangsung dan menutup
ruang bagi kelompok lainnya untuk turut berkompetisi secara fair.
Ketiga, legitimasi politik. Berbeda
dengan cara pilkada tidak langsung seperti yang diterapkan sebelumnya, yakni
melalui institusi DPRD, pilkada akan memberikan legitimasi yang kuat kepada
kepemimpinan daerah terpilih. Dalam mekanisme pemilihan langsung ini,
kepemimpinan yang terwujud akan merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan
kepentingan konstituen pemilih (rakyat). Sehingga dapat dipastikan bahwa
kandidat yang terpilih secara demokratis mendapat dukungan dari bagian besar
dari masyarakat pemilih. Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh
DPRD bersifat elitis yang kerap kali menelikung aspirasi rakyat.
Keempat,
minimalisasi manipulasi dan kecurangan. Salah satu unsur yang mendorong
penyelenggaraan pilkadal adalah maraknya berbagai kasus money politics dan
bentuk kecurangan lainnya dalam praktek pemilihan kepala daerah yang selama ini
terjadi. Intervensi pemerintah memang dapat diminimalisasi dalam pilkada selama
hampir 4 tahun otonomi daerah dilangsungkan. Namun bandul permasalahan kini
malah berayun ke tubuh lembaga perwakilan daerah yang diberi kewenangan memilih
kepala daerah. Politik uang (money politics) terjadi hampir secara merata ke
seluruh daerah.
Kelima, accountability. Dalam pemilihan
langsung oleh rakyat, accountability kepala daerah menjadi sangat penting.
Sebab, apabila rakyat sebagai pemilih menilai bahwa kepala daerah yang terpilih
ternyata tidak dapat menjalankan tugas-tugasnya secara baik dan bertanggung
jawab, rakyat akan memberikan sanksi dalam pilkadal berikutnya dengan tidak
memilihnya kembali.
B. Permasalah
Pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan kepala daerah secara langsung pada
dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih
demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung jawab. Selain itu, pemilihan secara langsung
tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar
distribusi pemerintahan secara vertikal . Implementasi dari pemilihan kepala
daerah pada dasarnya dapat memenuhi ekspektasi pemerintahan khususnya warga
masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan langsung warga masyarakat dapat
memilih pemimpin yang dianggap memiliki kapabilitas dan kompetensi yang baik
dalam memimpin daerahanya, namun yang terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit
untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik yang menyebabkan
berbagain masalah.
Masal yang pertama yaitu berkaitan dengan pencalonan. Sejumlah ketentuan
mengatur tentang hal ini. Pasal 59 ayat 1 menyebutkan: “Peserta pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan
secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Dalam
Pasal 59 (2) dinyatakan bahwa yang dapat mendaftarkan pasangan calon adalah
parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 15% (lima belas persen) dari
jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu
DPRD. Keberadaan calon perseorangan dinyatakan dalam pasal 59 (3), bahwa
“Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang
seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui
mekanisme yang demokratis dan transparan.” Ketentuan-ketentuan ini nampak
kurang memihak pada prinsip partisipasi dan kompetisi politik. Sebaliknya,
kepentingan-kepentingan partai politik, terutama partai-partai besar, kelihatan
menonjol. Ayat 1 di atas, misalnya, menegaskan sebenarnya bahwa hanya melalui
partai politik pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat
dinominasi atau menominasikan diri untuk pilkadal ini. Ketentuan semacam ini
membatasi partisipasi publik, dan sebaliknya mengutamakan partai politik.
Apalagi jika dikaitkan dengan ketentuan berikutnya pada ayat 2, hanya
partai-partai besar dapat berpartisipasi dalam proses pemilihan ini. Lebih dari
itu, ayat 3 tidak memberikan jaminan bahwa mekanisme seleksi calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah oleh partai politik akan dilangsungkan secara
demokratis dan transparan. Sebab ketentuan ini amat longgar, karena tidak
memberikan batasan yang jelas tentang kedua mekanisme tersebut dan sanksi yang
tegas jika kewajiban ini tidak dilaksanakan. Dengan ketentuan seperti ini,
kompetisi menjadi terbatas dan tertutup yang hasilnya bisa jadi merupakan
transaksi politik “bawah tangan.” Calon-calon yang berkualitas, kompeten dan
kapable, serta bersih dalam proses pilkada mungkin sekali akan sulit diperoleh.
Kedua, soal penyelenggara pilkada. Dalam pasal
57 ayat 1 ditegaskan bahwa pilkadal diselenggarakan oleh KPUD yang
bertanggungjawab kepada DPRD. Selanjutnya pasal 65 ayat 4 menyatakan bahwa KPUD
berpedoman kepada Peraturan Pemerintah (PP) dalam melaksanakan tugas persiapan
dan pelaksanaan pilkadal. Persoalan yang dikhawatirkan dari kenyataan ini
adalah rawannya KPUD dari intervensi dan tekanan dari elite ataupun massa
partai politik lokal, terutama dalam masalah tarik ulur pencalonan. Di samping
itu, pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD mengandung beberapa ketidakjelasan. UU
tersebut tidak merinci bentuk dan proses
pertanggungjawaban serta pelaporan KPUD kepada DPRD. Termasuk
konsekuensi-konsekuensi yang dimunculkan apabila DPRD ternyata mengambil sikap
menolak pertanggung-jawaban yang disampaikan KPUD. Selain itu, DPRD juga akan
menjadi sasaran politis, mulai sejak proses awal, ketika ketidak-puasan muncul
di kalangan konstituen tertentu. Persoalan lain yang bersifat lebih substansiil
terkait dengan penyelenggara-an pilkada yang bergantung pada Peraturan
Pemerintah. Hal ini merupakan kemunduran dari visi penyelenggaraaan pemilu yang
jurdil yang bebas dari intervensi pemerintah, dan dengan demikian merupakan
kemunduran pula bagi demokratisasi di Indonesia. Ditambah dengan kedudukan KPUD
sebagai institusi penyelenggara pilkadal, persoalan menjadi melebar kepada
masalah “pertentangan” dengan UUD 1945, yang pada pasal 22 menggariskan bahwa
Pemilu dilaksanakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Kenyataan
ini menyuratkan secara jelas bahwa pemilihan kepala daerah tidak dianggap
sebagai bagian dari pemilih umum. Mungkin saja kesalahan terdapat pada UUD 1945
yang tidak menyatakan pilkadal sebagai bagian dari pemilihan umum. Tetapi,
sepanjang pilkadal dinyatakan sebagai proses pemilihan yang mendasarkan pada
prinsip-prinsip pemilihan umum, maka sulit untuk menerima logika yang
mendudukkan pilkadal bukan bagian dari pemilihan umum. Karena itu, wajar saja
jika terdapat kecurigaan kuat bahwa pilkadal memang sengaja didudukkan di bawah
“rezim” pemerintahan daerah untuk maksud-maksud politis yang menguntungkan
pemerintah pusat.
Ketiga,
terkait dengan kepanitian pengawas pilkadal. Pengawas dalam penyelenggaraan
pilkadal dibentuk oleh DPRD (Pasal 57 ayat 7). Panitia Pengawas terdiri atas
unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat.
Panitia Pengawas juga bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban
menyampaikan laporannya. Adanya ketentuan menyangkut unsur perguruan tinggi dan
press sebagai anggota Panitia Pengawas terasa berlebihan. Bisa jadi nantinya
anggota Panitia Pengawas di tingkat kabupaten/ kota didominasi oleh orang-orang
yang berasal dari ibukota provinsi, mengingat sebagian besar kabupaten/kota
tidak memilik press dan perguruan tinggi. Duplikasi pelaksanaan pemilu nasional
(legislatif, DPD dan presiden/wakil presiden) ke dalam pemilu lokal ini
seolah-seolah menggeneralisasi persoalan. Persoalan lain yang muncul terkait
dengan independensi Panitia Pengawas. Sebab, DPRD merupakan “kepanjangan tangan
parpol” yang turut terlibat dan sarat kepentingan dalam penyelenggaraan pilkada
langsung, berikut hasil akhirnya. Dapat dipastikan parpol akan berlomba-lomba
menaruh “orangnya” dalam komposisi kepanitiaan pengawas pilkada. Dengan demikian
dikhawatirkan Panitia Pengawas akan menjadi kepanjangan kepentingan partai
politik dalam menjalankan tugasnya, dan karena itu, tidak lagi bersifat
independen.
Keempat, berkaitan dengan penetapan hasil
pemilihan. Antara pasal 107 (1) dan 107 (2) terjadi kontradiksi terkait dengan
jumlah suara sah untuk penetapan pasangan calon terpilih. Pada pasal 107 (1)
dinyatakan calon yang memperoleh lebih dari 50% suara sah langsung ditetapkan
sebagai pasangan terpilih. Tetapi ketentuan ini dibatalkan oleh ayat 2 yang
menegaskan bahwa peraih suara terbanyak di atas 25 % dinyatakan sebagai
pasangan calon terpilih. Apabila ketentuan ini diberlakukan (paling besar
diatas 25% dinyatakan terpilih), persoalan mendasar yang muncul akan berkaitan
dengan kulaitas legitimasi. Pilkada dengan demikian memberikan kemungkinan
terbentuknya pemerintahan “minoritas” dengan legitimasi yang lemah.
Pemerintahan seperti ini mungkin sekali bukan merupakan pemerintahan yang
menyelesaikan masalah, sebaliknya justru bisa jadi sumber masalah-masalah baru
di daerah. Banyak persoalan lain masih dapat dirinci dari pengaturan politis
tentang pilkadal. Tetapi, beberapa catatan di atas kiranya cukup untuk
menunjukkan bahwa meski pilkada dapat memacu demokratisasi pada tingkat lokal,
penyelenggaraannya mengandung banyak kelemahan yang dapat mengganggu
langkah-langkah maju demokratisasi di daerah. Jika kelemahan ini tidak segera
di atasi, pilkada malahan dapat menimbulkan komplikasi persoalan justru setelah
proses pemilihan kepala daerah menetapkan hasil-hasilnya.
Selain beberapa masalah di atas masih ada
beberapa masalah klasik yang membayangi pemilihan kepala daerah secara lansung
seperti :
1. Money Politik
Rendahnya pengetahuan dan
partisipasi masyarakat membuat masyarakat mudah dipengaruhi oleh money politik,
belum lagi keadaan ekonomi yang lemah sangat mendukung money politik ini.
Contoh yang nyata dialami oleh penulis ketika pilkada kabupaten Bandung
beberapa waktu lalu di daerah cibiru ada salah satu tim sukses pasangan calon
bupati yang membagi-bagikan uang dan sembako dengan kesepakatan untuk memilih
pasangan calon tersebut. Ini menunjukan bahwa pilkada masih kental dengan money
politik dan menjadi masalah yang sangat serius dalam proses demokrasi.
2. Intimidasi
Selain money politik yang sasarannya
untu masyarakat golongan ekonomi lemah, intimidasi dengan kekerasan sering
terjadi untuk memaksakan kehendak dalam pilkada sehingga calonnya terpilih.
Menggunakan kekerasan intimidasi terhadap masyarakat sangat beresiko fatal
sebab selain mencederai proses demokratisasi juga berpotensiterjadinya konflik
horizontal. Hal ini sangat bertentangan dengan asas penyelenggaraan pilkada
yang luber dan jurdil.
3. Mendahului start kampanye
Pelanggaran ini juga sangat sering
terjadi, pemasangan alat peraga kampanye padahal belum memasuki masa kampanye
sangat sering kita jumpai sehingga merusak pemandangan kota. Di samping itu
juga pemanfaatan media televisi juga sering dilakukan padah belum memasuki
jadwal kampanye.
4.
Black Campaign
Pelanggaran ini bisa bersifat
fitnah, tuduhan atau peruasakan nama baik calon yang satu oleh calon yang lain.
Pelanggaran ini jelas sangat merusak citra demokrasi yang seharusnya santun
dalam berpolitik.
C.
Solusi Permasalahan Pemilihan Kepala Daerah
Diperlukan suatu terobosan dalam melihat kembali
pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa kekurangan-kekurangan
yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini. Setidaknya kita tidak
berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena konflik antar
pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa banyak dana lagi
yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam proses pilkada, dan
kemunduran pendidikan politik yang menciptakan pemilih-pemilih yang primitif,
tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.
Dengan melihat praktek yang terjadi tentunya
sudah pantasnya pemerintah melakukan evaluasi mengenai kekurangan-kekurangan
tersebut. Presiden RI ketiga B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan
tonggak demokrasi yang penting di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi
sinergi antara kemerdekaan dan kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya
dikembalikan kepada rakyat. Presiden/Wapres dan Pilkada dipilih secara langsung
oleh rakyat. Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang
sudah sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah
yang besar, maka efektifitas system pemilihan gubernur secara langsung perlu
dilakukan peninjauan kembali sebagai berikut:
a. Tinjauan yuridis
Berdasar:
1)
Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa,
"kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang",
2)
Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa,
"Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis",
3)
Pasal 28D ayat (3) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakanbahwa, "setiap
warga negera berhak memperoleh kesempatan yg sama dalam pemerintahan",
Bahwa
tidak ada perintah pemilihan
gubernur dipilih secara langsung, sehingga pemilihan gubernur dilakukan melalui system perwakilan tidak bertentangan dengan
konstitusi.
b. Tinjauan filosofis
1) Dari
sisi ruang partisipasi rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui sistem
perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah
dibanding dengan system pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk
dipilih sama, jika persyaratan calon gubernur sama.
2) Dari
sisi ruang partisipasi rakyat utk dipilih, baik sistem pemilihan secara
langsung maupun melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan
bagi kedua sstem tersebut sama.
3) Dari
sisi terbukanya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah
(provinsi) kurang dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi
operasional berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas
kebijakan yang terkait dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4) Dari
sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat
dan daerah, pemilihan Gubernur melalui perwakilan dimana selain DPRD,
Pemerintah juga mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur akan memiliki
nilai yang lebih baik, karena di satu sisi gubernur harus menjamin
terlaksananya kebijakan pemerintah pusat di daerah, di sisi lain Gubernur juga
harus memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah yang direpresentasikan
oleh DPRD.
5) Dari
sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin
dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka
posisi Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi
pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh
rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran.
6) Dari
sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam
memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal
yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi penentuan
gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan
biaya yang harus dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.
c. Tinjauan Politis
1)
Perkuatan sistem NKRI.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun
1945 bahwa Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan. Sistem ini bertujuan
untuk menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan
jumlah daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi
rentang kendali pemerintahan diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang
kuat dengan pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan
dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur.
Untuk itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga
adanya peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki
nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
2)
Penataan posisi gubernur dan sumber legitimasi.
Pemilihan
gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan bupati/walikota
telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota sebagai kepala
daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang besar yang
membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat daerah yang
membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai kepala daerah
sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan gubernur sebagai kepala
daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka sumber legitimasi gubernur
akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
d. Tinjauan Sosiologis
1)
Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat.
Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang
masih mementingkan kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan
belum mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara
langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam menumbuhkan
budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui pengaturan tertentu
pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon bersaing secara sehat.
2)
Menumbuhkan kesadaran akan
kebutuhan pemimpin yang
mampu membawa kemajuan daerah.
Dalam
kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan
program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk
menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan
daerah, dibanding dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat
setidaknya akan mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas
pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
e. Tinjauan efektifitas dan efisiensi
Dari
segi kemudahan untuk dilaksanakan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan
pemilihan kepala daerah melalui perwakilan jauh lebih baik dibanding dengan
melalui Pilkada secara langsung. Berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis,
sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung lebih banyak
kelemahannya dibandingkan dengan jika dipilih melalui sistem perwakilan.
Selanjutnya
perlu juga diperhatikan mengenai sistem pemilihan wakil kepala daerah, di mana
dalam UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur,
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD
Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan
dengan kepala daerah. Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung
berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian dengan
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam
perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang,
banyak terjadi hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak
harmonis, sehingga adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat membantu atau
terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling
melemahkan. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang
juga sarat dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan
wakil kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver
politik yang saling menjatuhkan. Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak
harmonis tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala
daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat
menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemilihan kepala daerah atau yang sering di sebut pilkadamerupakan adalah pemilihan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah
sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah. Pemilihan kepala daerah
pada era otonomi daerah ini merupakan sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat
yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal
ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat”. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut
menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi
pemerintahan secara vertikal.
Akan tetapi, Pelakasanaan pilkada yang di
laksanakan di indonesia belum sesuai dengan harapan dan tujuan. Berbagi
permaslahan timbul di dalam pemilihan kepala daerah, seperti Persainmgan yang
kurang jujur antara pratai politik, Konfilik antar pendukung kepala daerah,
Pelaksananan Pemilihan kepala daerah yang belum sesuai ,Money Politik dan masih
banyak lagi.
Diperlukan suatu terobosan untuk
mengatasi permaslahan-permasalah yang tersebut.salah satunya dengan melihat
kembali pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa
kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini.
Setidaknya kita tidak berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena
konflik antar pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa
banyak dana lagi yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam
proses pilkada, dan kemunduran pendidikan politik yang menciptakan
pemilih-pemilih yang primitif, tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.
Daftar
Pustaka
Ibrahim,
Ahmad.2013. Dinamika Politik Lokal . Bandung:
Mandar Maju
Irtanto. 2008. Dinamika
Politik Lokal Era Otonomi Daerah. Surabaya : Pustaka Pelajar
Santoso, Agus.
2013. Menyikap Tabir Otonomi Daerah di Indonesia. Samarinda
: Puataka Pelajar
Sentosa, Sembiring. 2009. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia, Pemerintahan Daerah (Pemda). Bandung: Nuansa Aulia
Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
PERMASALAHAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH
(PEMULUKADA)
(
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah otonomi daerah)
Disusun Oleh:
Nama : Fathur Rozi
NIM : 3601414027
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNNES 2015
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu hasil glombang
reformasi yang terjadi tahun 1998 adalah UU no. 22 tahun 1999, yang kemudian di
ganti dengan uu no. 32 tahun 2004, serta mengalami pergantian dengan uu.no 23
tahun 2014 yaitu tentang pemerintah daerah atau yang lebih di kenal dengan
otonomi daerah. Kehadiran Undang-undang tersebut merupakan peluang untuk
mewujuddkan aspirasi daerah yaitu keinginan untuk memiliki kepala daerah atau
pemimpin lokal yang di sepakat oleh rakyat melalui pemilihan umum. Secara
teknis pemilihan umum merupakan sarana Pelaksanaan
Kedaulatan Rakyat yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat”, seperti yang diamanatkan dalam UUD Negara Republik
Indonesia tahun 1945 pasal 1 ayat 2. Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk
memilih wakil rakyat baik ditingkat pemerintahan pusat maupun
pemerintahan daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat,
dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional
sebagaimana yang diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pemilihan
kepala daerah sudah ada sejak era orde lama dengan penunjukkan langsung, hingga
memasuki era orde baru dengan sistem sentralistik serta sekarang ini era
revormasi di mana pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan
secara terbuka, yakni dipilih oleh warga masyarakat secara langsung. Pemilihan
kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik
bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta
transparan dan bertanggung jawab. Selain
itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan
demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal
. Implementasi dari pemilihan kepala daerah pada dasarnya dapat memenuhi
ekspektasi pemerintahan khususnya warga masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan
langsung warga masyarakat dapat memilih pemimpin yang dianggap memiliki
kapabilitas dan kompetensi yang baik dalam memimpin daerahanya, namun yang
terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik dan juga tingkat pendidikan serta tingkat ekonomi pemilih dalam pemilihan umum yang memengaruhi para pemilih dalam memilih kepala daerah. Tingkat
pendidikan maupun ekonomi Masyarakat Indonesia terbukti dalam beberapa
pemilu setelah masa reformasi sangat berpengaruh, inilah yang menimbulkan
maraknya praktek menyimpang seperti Money Politic. Yang kemudian sangat
menciderai sistem demokrasi yang dibangun oleh bangsa Indonesia agar tercipta
good governance. Oleh karena itu, Penulis akan memberikan gambaran
mengenai permasalah pemilaihan kepala daerah pada masa otonimi daerah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia?
2. Apa permasalahan yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah di era otonomi
daerah?
3. Apa Solusi untuk mengatasi permasalahan dalam pemilihan kepala daerah di
era otonomi daerah ini?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia
Pilkada adalah untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi
politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan diselenggarakan pemilihan umum, dimana
pemilihan umum secara langsung oleh rakyat
merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengalaman sejarah kemimpinan nasional di Indonesia
menunjukan adanya pembatasan ruang gerak demokrasi yang dimilik oleh rakyat.
Hal ini tecermin sejak kepemimpinan nasional yaitu sejak indonesia merdeka
sampai era reformasi, Presiden tidak di pilih langsun oleh rakyat. Hal tersebut
dijadikan tolak ukur untuk menentukan negra itu demokrasi atau tidak , walaupun
demokrasi tidak smata-mata ditentukan adeanya pemilihan oleh rakayat secara
langsung. Sejak merdeka sampai reformasi di kumandagkan kepemimpinan
diindonesia selalu mengalami permasalahan. Presiden yang pertama , yaitu
Presiden Soekarno telah memimpin Indonesia dari 1945 sampai turunya Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966. Peresiden sukarno tidak di pilih baik
secara parlemen ataupun secara langsung oleh rakyat. Kemudian Presiden yang
kedua yaitu Presiden Soeharto walaupun sudah dipilih melalui parlemen, tetapi
pemerintahanya seperti tidak ada batasan yang mengaturnya, Sehingga Presiden
Soeharto dapat terus berkuasa sampai akhirnya dipaksan untuk turun jabatan
melalui reformasi lalu digantikan oleh wakilnya, Habibie.
Pejalan sejarah kepemimpinan nasional tersebutlah yang
menyebabkan munculnya tuntutan untuk diadakan pemilihan secara langsun oleh
rakyat, baik itu pemilihan presiden dan wakilnya maupun pemilihan kepala
daerah. Pemilihan secara langsung pada dasarnya
merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis (
kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung jawab.
Diterapkannya
pilkada merupakan event demokrasi yang bermakna dalam sejarah politik
Indonesia. Untuk pertama kali kontestasi kepala daerah dengan pemilihan
langsung oleh rakyat diterapkan setelah lebih separuh abad republik ini
menyatakan kemerdekaan-nya. Ini juga bersifat koheren dengan penyelenggaraan
pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung (Pasal 6 A UUD 1945). Dalam
konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, pilkada bisa jadi merupakan pilar
yang bersifat memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional. Sebagaimana
dinyatakan oleh Tip O’ Neill, “all politics is local”,1 yang berarti demokrasi
akan berkembang subur dan terbangun kuat di aras nasional apabila dalam
tingkatan yang lebih rendah (lokal) nilai-nilai demokrasi berakar kuat. Pilkada
mewujudkan makna tersebut. Dengan pemahaman seperti itu, penyelenggaraan
pilkadal dapat memberikan dampak positif terhadap penguatan demokrasi di
Indonesia.
Pertama, partisipasi politik. Dalam
pilkadal, rakyat terlibat langsung untuk menentukan siapa layak (memiliki
kredibilitas dan kapabilitas memperjuangkan aspirasi dan memenuhi kepentingan
rakyat) menjadi “pelayan” (pejabat publik) mereka. Melalui proses semacam itu,
dapat tumbuh kesadaran bahwa merekalah (rakyat) pemegang kedaulatan politik
yang sebenarnya. Termasuk dalam kesadaran ini adalah kehati-hatian dalam
menentukan pilihan, sebab kesalahan memilih dapat membawa akibat buruk terhadap
kehidupan mereka.
Kedua, kompetisi politik. Pilkada
membuka ruang untuk kompetisi yang fair dan adil antara kontestan yang
bersaing. Diharapkan tidak ada lagi suatu kontestan dari partai politik
tertentu mendominasi secara terus menerus proses yang berlangsung dan menutup
ruang bagi kelompok lainnya untuk turut berkompetisi secara fair.
Ketiga, legitimasi politik. Berbeda
dengan cara pilkada tidak langsung seperti yang diterapkan sebelumnya, yakni
melalui institusi DPRD, pilkada akan memberikan legitimasi yang kuat kepada
kepemimpinan daerah terpilih. Dalam mekanisme pemilihan langsung ini,
kepemimpinan yang terwujud akan merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan
kepentingan konstituen pemilih (rakyat). Sehingga dapat dipastikan bahwa
kandidat yang terpilih secara demokratis mendapat dukungan dari bagian besar
dari masyarakat pemilih. Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh
DPRD bersifat elitis yang kerap kali menelikung aspirasi rakyat.
Keempat,
minimalisasi manipulasi dan kecurangan. Salah satu unsur yang mendorong
penyelenggaraan pilkadal adalah maraknya berbagai kasus money politics dan
bentuk kecurangan lainnya dalam praktek pemilihan kepala daerah yang selama ini
terjadi. Intervensi pemerintah memang dapat diminimalisasi dalam pilkada selama
hampir 4 tahun otonomi daerah dilangsungkan. Namun bandul permasalahan kini
malah berayun ke tubuh lembaga perwakilan daerah yang diberi kewenangan memilih
kepala daerah. Politik uang (money politics) terjadi hampir secara merata ke
seluruh daerah.
Kelima, accountability. Dalam pemilihan
langsung oleh rakyat, accountability kepala daerah menjadi sangat penting.
Sebab, apabila rakyat sebagai pemilih menilai bahwa kepala daerah yang terpilih
ternyata tidak dapat menjalankan tugas-tugasnya secara baik dan bertanggung
jawab, rakyat akan memberikan sanksi dalam pilkadal berikutnya dengan tidak
memilihnya kembali.
B. Permasalah
Pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan kepala daerah secara langsung pada
dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih
demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung jawab. Selain itu, pemilihan secara langsung
tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar
distribusi pemerintahan secara vertikal . Implementasi dari pemilihan kepala
daerah pada dasarnya dapat memenuhi ekspektasi pemerintahan khususnya warga
masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan langsung warga masyarakat dapat
memilih pemimpin yang dianggap memiliki kapabilitas dan kompetensi yang baik
dalam memimpin daerahanya, namun yang terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit
untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik yang menyebabkan
berbagain masalah.
Masal yang pertama yaitu berkaitan dengan pencalonan. Sejumlah ketentuan
mengatur tentang hal ini. Pasal 59 ayat 1 menyebutkan: “Peserta pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan
secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Dalam
Pasal 59 (2) dinyatakan bahwa yang dapat mendaftarkan pasangan calon adalah
parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 15% (lima belas persen) dari
jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu
DPRD. Keberadaan calon perseorangan dinyatakan dalam pasal 59 (3), bahwa
“Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang
seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui
mekanisme yang demokratis dan transparan.” Ketentuan-ketentuan ini nampak
kurang memihak pada prinsip partisipasi dan kompetisi politik. Sebaliknya,
kepentingan-kepentingan partai politik, terutama partai-partai besar, kelihatan
menonjol. Ayat 1 di atas, misalnya, menegaskan sebenarnya bahwa hanya melalui
partai politik pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat
dinominasi atau menominasikan diri untuk pilkadal ini. Ketentuan semacam ini
membatasi partisipasi publik, dan sebaliknya mengutamakan partai politik.
Apalagi jika dikaitkan dengan ketentuan berikutnya pada ayat 2, hanya
partai-partai besar dapat berpartisipasi dalam proses pemilihan ini. Lebih dari
itu, ayat 3 tidak memberikan jaminan bahwa mekanisme seleksi calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah oleh partai politik akan dilangsungkan secara
demokratis dan transparan. Sebab ketentuan ini amat longgar, karena tidak
memberikan batasan yang jelas tentang kedua mekanisme tersebut dan sanksi yang
tegas jika kewajiban ini tidak dilaksanakan. Dengan ketentuan seperti ini,
kompetisi menjadi terbatas dan tertutup yang hasilnya bisa jadi merupakan
transaksi politik “bawah tangan.” Calon-calon yang berkualitas, kompeten dan
kapable, serta bersih dalam proses pilkada mungkin sekali akan sulit diperoleh.
Kedua, soal penyelenggara pilkada. Dalam pasal
57 ayat 1 ditegaskan bahwa pilkadal diselenggarakan oleh KPUD yang
bertanggungjawab kepada DPRD. Selanjutnya pasal 65 ayat 4 menyatakan bahwa KPUD
berpedoman kepada Peraturan Pemerintah (PP) dalam melaksanakan tugas persiapan
dan pelaksanaan pilkadal. Persoalan yang dikhawatirkan dari kenyataan ini
adalah rawannya KPUD dari intervensi dan tekanan dari elite ataupun massa
partai politik lokal, terutama dalam masalah tarik ulur pencalonan. Di samping
itu, pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD mengandung beberapa ketidakjelasan. UU
tersebut tidak merinci bentuk dan proses
pertanggungjawaban serta pelaporan KPUD kepada DPRD. Termasuk
konsekuensi-konsekuensi yang dimunculkan apabila DPRD ternyata mengambil sikap
menolak pertanggung-jawaban yang disampaikan KPUD. Selain itu, DPRD juga akan
menjadi sasaran politis, mulai sejak proses awal, ketika ketidak-puasan muncul
di kalangan konstituen tertentu. Persoalan lain yang bersifat lebih substansiil
terkait dengan penyelenggara-an pilkada yang bergantung pada Peraturan
Pemerintah. Hal ini merupakan kemunduran dari visi penyelenggaraaan pemilu yang
jurdil yang bebas dari intervensi pemerintah, dan dengan demikian merupakan
kemunduran pula bagi demokratisasi di Indonesia. Ditambah dengan kedudukan KPUD
sebagai institusi penyelenggara pilkadal, persoalan menjadi melebar kepada
masalah “pertentangan” dengan UUD 1945, yang pada pasal 22 menggariskan bahwa
Pemilu dilaksanakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Kenyataan
ini menyuratkan secara jelas bahwa pemilihan kepala daerah tidak dianggap
sebagai bagian dari pemilih umum. Mungkin saja kesalahan terdapat pada UUD 1945
yang tidak menyatakan pilkadal sebagai bagian dari pemilihan umum. Tetapi,
sepanjang pilkadal dinyatakan sebagai proses pemilihan yang mendasarkan pada
prinsip-prinsip pemilihan umum, maka sulit untuk menerima logika yang
mendudukkan pilkadal bukan bagian dari pemilihan umum. Karena itu, wajar saja
jika terdapat kecurigaan kuat bahwa pilkadal memang sengaja didudukkan di bawah
“rezim” pemerintahan daerah untuk maksud-maksud politis yang menguntungkan
pemerintah pusat.
Ketiga,
terkait dengan kepanitian pengawas pilkadal. Pengawas dalam penyelenggaraan
pilkadal dibentuk oleh DPRD (Pasal 57 ayat 7). Panitia Pengawas terdiri atas
unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat.
Panitia Pengawas juga bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban
menyampaikan laporannya. Adanya ketentuan menyangkut unsur perguruan tinggi dan
press sebagai anggota Panitia Pengawas terasa berlebihan. Bisa jadi nantinya
anggota Panitia Pengawas di tingkat kabupaten/ kota didominasi oleh orang-orang
yang berasal dari ibukota provinsi, mengingat sebagian besar kabupaten/kota
tidak memilik press dan perguruan tinggi. Duplikasi pelaksanaan pemilu nasional
(legislatif, DPD dan presiden/wakil presiden) ke dalam pemilu lokal ini
seolah-seolah menggeneralisasi persoalan. Persoalan lain yang muncul terkait
dengan independensi Panitia Pengawas. Sebab, DPRD merupakan “kepanjangan tangan
parpol” yang turut terlibat dan sarat kepentingan dalam penyelenggaraan pilkada
langsung, berikut hasil akhirnya. Dapat dipastikan parpol akan berlomba-lomba
menaruh “orangnya” dalam komposisi kepanitiaan pengawas pilkada. Dengan demikian
dikhawatirkan Panitia Pengawas akan menjadi kepanjangan kepentingan partai
politik dalam menjalankan tugasnya, dan karena itu, tidak lagi bersifat
independen.
Keempat, berkaitan dengan penetapan hasil
pemilihan. Antara pasal 107 (1) dan 107 (2) terjadi kontradiksi terkait dengan
jumlah suara sah untuk penetapan pasangan calon terpilih. Pada pasal 107 (1)
dinyatakan calon yang memperoleh lebih dari 50% suara sah langsung ditetapkan
sebagai pasangan terpilih. Tetapi ketentuan ini dibatalkan oleh ayat 2 yang
menegaskan bahwa peraih suara terbanyak di atas 25 % dinyatakan sebagai
pasangan calon terpilih. Apabila ketentuan ini diberlakukan (paling besar
diatas 25% dinyatakan terpilih), persoalan mendasar yang muncul akan berkaitan
dengan kulaitas legitimasi. Pilkada dengan demikian memberikan kemungkinan
terbentuknya pemerintahan “minoritas” dengan legitimasi yang lemah.
Pemerintahan seperti ini mungkin sekali bukan merupakan pemerintahan yang
menyelesaikan masalah, sebaliknya justru bisa jadi sumber masalah-masalah baru
di daerah. Banyak persoalan lain masih dapat dirinci dari pengaturan politis
tentang pilkadal. Tetapi, beberapa catatan di atas kiranya cukup untuk
menunjukkan bahwa meski pilkada dapat memacu demokratisasi pada tingkat lokal,
penyelenggaraannya mengandung banyak kelemahan yang dapat mengganggu
langkah-langkah maju demokratisasi di daerah. Jika kelemahan ini tidak segera
di atasi, pilkada malahan dapat menimbulkan komplikasi persoalan justru setelah
proses pemilihan kepala daerah menetapkan hasil-hasilnya.
Selain beberapa masalah di atas masih ada
beberapa masalah klasik yang membayangi pemilihan kepala daerah secara lansung
seperti :
1. Money Politik
Rendahnya pengetahuan dan
partisipasi masyarakat membuat masyarakat mudah dipengaruhi oleh money politik,
belum lagi keadaan ekonomi yang lemah sangat mendukung money politik ini.
Contoh yang nyata dialami oleh penulis ketika pilkada kabupaten Bandung
beberapa waktu lalu di daerah cibiru ada salah satu tim sukses pasangan calon
bupati yang membagi-bagikan uang dan sembako dengan kesepakatan untuk memilih
pasangan calon tersebut. Ini menunjukan bahwa pilkada masih kental dengan money
politik dan menjadi masalah yang sangat serius dalam proses demokrasi.
2. Intimidasi
Selain money politik yang sasarannya
untu masyarakat golongan ekonomi lemah, intimidasi dengan kekerasan sering
terjadi untuk memaksakan kehendak dalam pilkada sehingga calonnya terpilih.
Menggunakan kekerasan intimidasi terhadap masyarakat sangat beresiko fatal
sebab selain mencederai proses demokratisasi juga berpotensiterjadinya konflik
horizontal. Hal ini sangat bertentangan dengan asas penyelenggaraan pilkada
yang luber dan jurdil.
3. Mendahului start kampanye
Pelanggaran ini juga sangat sering
terjadi, pemasangan alat peraga kampanye padahal belum memasuki masa kampanye
sangat sering kita jumpai sehingga merusak pemandangan kota. Di samping itu
juga pemanfaatan media televisi juga sering dilakukan padah belum memasuki
jadwal kampanye.
4.
Black Campaign
Pelanggaran ini bisa bersifat
fitnah, tuduhan atau peruasakan nama baik calon yang satu oleh calon yang lain.
Pelanggaran ini jelas sangat merusak citra demokrasi yang seharusnya santun
dalam berpolitik.
C.
Solusi Permasalahan Pemilihan Kepala Daerah
Diperlukan suatu terobosan dalam melihat kembali
pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa kekurangan-kekurangan
yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini. Setidaknya kita tidak
berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena konflik antar
pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa banyak dana lagi
yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam proses pilkada, dan
kemunduran pendidikan politik yang menciptakan pemilih-pemilih yang primitif,
tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.
Dengan melihat praktek yang terjadi tentunya
sudah pantasnya pemerintah melakukan evaluasi mengenai kekurangan-kekurangan
tersebut. Presiden RI ketiga B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan
tonggak demokrasi yang penting di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi
sinergi antara kemerdekaan dan kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya
dikembalikan kepada rakyat. Presiden/Wapres dan Pilkada dipilih secara langsung
oleh rakyat. Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang
sudah sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah
yang besar, maka efektifitas system pemilihan gubernur secara langsung perlu
dilakukan peninjauan kembali sebagai berikut:
a. Tinjauan yuridis
Berdasar:
1)
Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa,
"kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang",
2)
Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa,
"Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis",
3)
Pasal 28D ayat (3) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakanbahwa, "setiap
warga negera berhak memperoleh kesempatan yg sama dalam pemerintahan",
Bahwa
tidak ada perintah pemilihan
gubernur dipilih secara langsung, sehingga pemilihan gubernur dilakukan melalui system perwakilan tidak bertentangan dengan
konstitusi.
b. Tinjauan filosofis
1) Dari
sisi ruang partisipasi rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui sistem
perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah
dibanding dengan system pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk
dipilih sama, jika persyaratan calon gubernur sama.
2) Dari
sisi ruang partisipasi rakyat utk dipilih, baik sistem pemilihan secara
langsung maupun melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan
bagi kedua sstem tersebut sama.
3) Dari
sisi terbukanya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah
(provinsi) kurang dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi
operasional berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas
kebijakan yang terkait dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4) Dari
sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat
dan daerah, pemilihan Gubernur melalui perwakilan dimana selain DPRD,
Pemerintah juga mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur akan memiliki
nilai yang lebih baik, karena di satu sisi gubernur harus menjamin
terlaksananya kebijakan pemerintah pusat di daerah, di sisi lain Gubernur juga
harus memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah yang direpresentasikan
oleh DPRD.
5) Dari
sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin
dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka
posisi Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi
pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh
rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran.
6) Dari
sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam
memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal
yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi penentuan
gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan
biaya yang harus dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.
c. Tinjauan Politis
1)
Perkuatan sistem NKRI.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun
1945 bahwa Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan. Sistem ini bertujuan
untuk menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan
jumlah daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi
rentang kendali pemerintahan diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang
kuat dengan pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan
dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur.
Untuk itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga
adanya peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki
nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
2)
Penataan posisi gubernur dan sumber legitimasi.
Pemilihan
gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan bupati/walikota
telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota sebagai kepala
daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang besar yang
membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat daerah yang
membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai kepala daerah
sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan gubernur sebagai kepala
daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka sumber legitimasi gubernur
akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
d. Tinjauan Sosiologis
1)
Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat.
Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang
masih mementingkan kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan
belum mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara
langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam menumbuhkan
budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui pengaturan tertentu
pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon bersaing secara sehat.
2)
Menumbuhkan kesadaran akan
kebutuhan pemimpin yang
mampu membawa kemajuan daerah.
Dalam
kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan
program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk
menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan
daerah, dibanding dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat
setidaknya akan mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas
pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
e. Tinjauan efektifitas dan efisiensi
Dari
segi kemudahan untuk dilaksanakan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan
pemilihan kepala daerah melalui perwakilan jauh lebih baik dibanding dengan
melalui Pilkada secara langsung. Berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis,
sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung lebih banyak
kelemahannya dibandingkan dengan jika dipilih melalui sistem perwakilan.
Selanjutnya
perlu juga diperhatikan mengenai sistem pemilihan wakil kepala daerah, di mana
dalam UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur,
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD
Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan
dengan kepala daerah. Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung
berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian dengan
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam
perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang,
banyak terjadi hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak
harmonis, sehingga adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat membantu atau
terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling
melemahkan. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang
juga sarat dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan
wakil kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver
politik yang saling menjatuhkan. Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak
harmonis tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala
daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat
menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemilihan kepala daerah atau yang sering di sebut pilkadamerupakan adalah pemilihan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah
sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah. Pemilihan kepala daerah
pada era otonomi daerah ini merupakan sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat
yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal
ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat”. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut
menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi
pemerintahan secara vertikal.
Akan tetapi, Pelakasanaan pilkada yang di
laksanakan di indonesia belum sesuai dengan harapan dan tujuan. Berbagi
permaslahan timbul di dalam pemilihan kepala daerah, seperti Persainmgan yang
kurang jujur antara pratai politik, Konfilik antar pendukung kepala daerah,
Pelaksananan Pemilihan kepala daerah yang belum sesuai ,Money Politik dan masih
banyak lagi.
Diperlukan suatu terobosan untuk
mengatasi permaslahan-permasalah yang tersebut.salah satunya dengan melihat
kembali pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa
kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini.
Setidaknya kita tidak berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena
konflik antar pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa
banyak dana lagi yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam
proses pilkada, dan kemunduran pendidikan politik yang menciptakan
pemilih-pemilih yang primitif, tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.
Daftar
Pustaka
Ibrahim,
Ahmad.2013. Dinamika Politik Lokal . Bandung:
Mandar Maju
Irtanto. 2008. Dinamika
Politik Lokal Era Otonomi Daerah. Surabaya : Pustaka Pelajar
Santoso, Agus.
2013. Menyikap Tabir Otonomi Daerah di Indonesia. Samarinda
: Puataka Pelajar
Sentosa, Sembiring. 2009. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia, Pemerintahan Daerah (Pemda). Bandung: Nuansa Aulia
Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah