Minggu, 07 Juni 2015




PERMASALAHAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH (PEMULUKADA)
( Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah otonomi daerah)



Disusun Oleh:

Nama : Fathur Rozi
NIM : 3601414027






PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNNES 2015





BAB 1
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Salah satu hasil glombang reformasi yang terjadi tahun 1998 adalah UU no. 22 tahun 1999, yang kemudian di ganti dengan uu no. 32 tahun 2004, serta mengalami pergantian dengan uu.no 23 tahun 2014 yaitu tentang pemerintah daerah atau yang lebih di kenal dengan otonomi daerah. Kehadiran Undang-undang tersebut merupakan peluang untuk mewujuddkan aspirasi daerah yaitu keinginan untuk memiliki kepala daerah atau pemimpin lokal yang di sepakat oleh rakyat melalui pemilihan umum. Secara teknis pemilihan umum merupakan sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, seperti yang diamanatkan dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 1 ayat 2. Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat baik ditingkat pemerintahan  pusat maupun pemerintahan daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemilihan kepala daerah sudah ada sejak era orde lama dengan penunjukkan langsung, hingga memasuki era orde baru dengan sistem sentralistik serta sekarang ini era revormasi di mana pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan secara terbuka, yakni dipilih oleh warga masyarakat secara langsung. Pemilihan kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung  jawab. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal . Implementasi dari pemilihan kepala daerah pada dasarnya dapat memenuhi ekspektasi pemerintahan khususnya warga masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan langsung warga masyarakat dapat memilih pemimpin yang dianggap memiliki kapabilitas dan kompetensi yang baik dalam memimpin daerahanya, namun yang terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik dan juga tingkat pendidikan serta tingkat ekonomi pemilih dalam pemilihan umum yang memengaruhi para pemilih dalam memilih kepala daerah. Tingkat  pendidikan maupun ekonomi Masyarakat Indonesia terbukti dalam beberapa pemilu setelah masa reformasi sangat berpengaruh, inilah yang menimbulkan maraknya praktek menyimpang seperti Money Politic. Yang kemudian sangat menciderai sistem demokrasi yang dibangun oleh bangsa Indonesia agar tercipta good governance. Oleh karena itu, Penulis akan memberikan gambaran mengenai permasalah pemilaihan kepala daerah pada masa otonimi daerah.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia?
2.      Apa permasalahan yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah di era otonomi daerah?
3.      Apa Solusi untuk mengatasi permasalahan dalam pemilihan kepala daerah di era otonomi daerah ini?














BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pemilihan Kepala Daerah  di Indonesia
Pilkada adalah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan diselenggarakan pemilihan umum, dimana pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengalaman sejarah kemimpinan nasional di Indonesia menunjukan adanya pembatasan ruang gerak demokrasi yang dimilik oleh rakyat. Hal ini tecermin sejak kepemimpinan nasional yaitu sejak indonesia merdeka sampai era reformasi, Presiden tidak di pilih langsun oleh rakyat. Hal tersebut dijadikan tolak ukur untuk menentukan negra itu demokrasi atau tidak , walaupun demokrasi tidak smata-mata ditentukan adeanya pemilihan oleh rakayat secara langsung. Sejak merdeka sampai reformasi di kumandagkan kepemimpinan diindonesia selalu mengalami permasalahan. Presiden yang pertama , yaitu Presiden Soekarno telah memimpin Indonesia dari 1945 sampai turunya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966. Peresiden sukarno tidak di pilih baik secara parlemen ataupun secara langsung oleh rakyat. Kemudian Presiden yang kedua yaitu Presiden Soeharto walaupun sudah dipilih melalui parlemen, tetapi pemerintahanya seperti tidak ada batasan yang mengaturnya, Sehingga Presiden Soeharto dapat terus berkuasa sampai akhirnya dipaksan untuk turun jabatan melalui reformasi lalu digantikan oleh wakilnya, Habibie.
Pejalan sejarah kepemimpinan nasional tersebutlah yang menyebabkan munculnya tuntutan untuk diadakan pemilihan secara langsun oleh rakyat, baik itu pemilihan presiden dan wakilnya maupun pemilihan kepala daerah. Pemilihan secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung  jawab.
            Diterapkannya pilkada merupakan event demokrasi yang bermakna dalam sejarah politik Indonesia. Untuk pertama kali kontestasi kepala daerah dengan pemilihan langsung oleh rakyat diterapkan setelah lebih separuh abad republik ini menyatakan kemerdekaan-nya. Ini juga bersifat koheren dengan penyelenggaraan pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung (Pasal 6 A UUD 1945). Dalam konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, pilkada bisa jadi merupakan pilar yang bersifat memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional. Sebagaimana dinyatakan oleh Tip O’ Neill, “all politics is local”,1 yang berarti demokrasi akan berkembang subur dan terbangun kuat di aras nasional apabila dalam tingkatan yang lebih rendah (lokal) nilai-nilai demokrasi berakar kuat. Pilkada mewujudkan makna tersebut. Dengan pemahaman seperti itu, penyelenggaraan pilkadal dapat memberikan dampak positif terhadap penguatan demokrasi di Indonesia.
            Pertama, partisipasi politik. Dalam pilkadal, rakyat terlibat langsung untuk menentukan siapa layak (memiliki kredibilitas dan kapabilitas memperjuangkan aspirasi dan memenuhi kepentingan rakyat) menjadi “pelayan” (pejabat publik) mereka. Melalui proses semacam itu, dapat tumbuh kesadaran bahwa merekalah (rakyat) pemegang kedaulatan politik yang sebenarnya. Termasuk dalam kesadaran ini adalah kehati-hatian dalam menentukan pilihan, sebab kesalahan memilih dapat membawa akibat buruk terhadap kehidupan mereka.
            Kedua, kompetisi politik. Pilkada membuka ruang untuk kompetisi yang fair dan adil antara kontestan yang bersaing. Diharapkan tidak ada lagi suatu kontestan dari partai politik tertentu mendominasi secara terus menerus proses yang berlangsung dan menutup ruang bagi kelompok lainnya untuk turut berkompetisi secara fair.
            Ketiga, legitimasi politik. Berbeda dengan cara pilkada tidak langsung seperti yang diterapkan sebelumnya, yakni melalui institusi DPRD, pilkada akan memberikan legitimasi yang kuat kepada kepemimpinan daerah terpilih. Dalam mekanisme pemilihan langsung ini, kepemimpinan yang terwujud akan merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan kepentingan konstituen pemilih (rakyat). Sehingga dapat dipastikan bahwa kandidat yang terpilih secara demokratis mendapat dukungan dari bagian besar dari masyarakat pemilih. Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh DPRD bersifat elitis yang kerap kali menelikung aspirasi rakyat.
             Keempat, minimalisasi manipulasi dan kecurangan. Salah satu unsur yang mendorong penyelenggaraan pilkadal adalah maraknya berbagai kasus money politics dan bentuk kecurangan lainnya dalam praktek pemilihan kepala daerah yang selama ini terjadi. Intervensi pemerintah memang dapat diminimalisasi dalam pilkada selama hampir 4 tahun otonomi daerah dilangsungkan. Namun bandul permasalahan kini malah berayun ke tubuh lembaga perwakilan daerah yang diberi kewenangan memilih kepala daerah. Politik uang (money politics) terjadi hampir secara merata ke seluruh daerah.
            Kelima, accountability. Dalam pemilihan langsung oleh rakyat, accountability kepala daerah menjadi sangat penting. Sebab, apabila rakyat sebagai pemilih menilai bahwa kepala daerah yang terpilih ternyata tidak dapat menjalankan tugas-tugasnya secara baik dan bertanggung jawab, rakyat akan memberikan sanksi dalam pilkadal berikutnya dengan tidak memilihnya kembali.
B.     Permasalah Pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung  jawab. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal . Implementasi dari pemilihan kepala daerah pada dasarnya dapat memenuhi ekspektasi pemerintahan khususnya warga masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan langsung warga masyarakat dapat memilih pemimpin yang dianggap memiliki kapabilitas dan kompetensi yang baik dalam memimpin daerahanya, namun yang terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik yang menyebabkan berbagain masalah. Masal yang pertama yaitu berkaitan dengan pencalonan. Sejumlah ketentuan mengatur tentang hal ini. Pasal 59 ayat 1 menyebutkan: “Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Dalam Pasal 59 (2) dinyatakan bahwa yang dapat mendaftarkan pasangan calon adalah parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPRD. Keberadaan calon perseorangan dinyatakan dalam pasal 59 (3), bahwa “Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.” Ketentuan-ketentuan ini nampak kurang memihak pada prinsip partisipasi dan kompetisi politik. Sebaliknya, kepentingan-kepentingan partai politik, terutama partai-partai besar, kelihatan menonjol. Ayat 1 di atas, misalnya, menegaskan sebenarnya bahwa hanya melalui partai politik pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dinominasi atau menominasikan diri untuk pilkadal ini. Ketentuan semacam ini membatasi partisipasi publik, dan sebaliknya mengutamakan partai politik. Apalagi jika dikaitkan dengan ketentuan berikutnya pada ayat 2, hanya partai-partai besar dapat berpartisipasi dalam proses pemilihan ini. Lebih dari itu, ayat 3 tidak memberikan jaminan bahwa mekanisme seleksi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh partai politik akan dilangsungkan secara demokratis dan transparan. Sebab ketentuan ini amat longgar, karena tidak memberikan batasan yang jelas tentang kedua mekanisme tersebut dan sanksi yang tegas jika kewajiban ini tidak dilaksanakan. Dengan ketentuan seperti ini, kompetisi menjadi terbatas dan tertutup yang hasilnya bisa jadi merupakan transaksi politik “bawah tangan.” Calon-calon yang berkualitas, kompeten dan kapable, serta bersih dalam proses pilkada mungkin sekali akan sulit diperoleh.
Kedua, soal penyelenggara pilkada. Dalam pasal 57 ayat 1 ditegaskan bahwa pilkadal diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD. Selanjutnya pasal 65 ayat 4 menyatakan bahwa KPUD berpedoman kepada Peraturan Pemerintah (PP) dalam melaksanakan tugas persiapan dan pelaksanaan pilkadal. Persoalan yang dikhawatirkan dari kenyataan ini adalah rawannya KPUD dari intervensi dan tekanan dari elite ataupun massa partai politik lokal, terutama dalam masalah tarik ulur pencalonan. Di samping itu, pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD mengandung beberapa ketidakjelasan. UU tersebut tidak merinci  bentuk dan proses pertanggungjawaban serta pelaporan KPUD kepada DPRD. Termasuk konsekuensi-konsekuensi yang dimunculkan apabila DPRD ternyata mengambil sikap menolak pertanggung-jawaban yang disampaikan KPUD. Selain itu, DPRD juga akan menjadi sasaran politis, mulai sejak proses awal, ketika ketidak-puasan muncul di kalangan konstituen tertentu. Persoalan lain yang bersifat lebih substansiil terkait dengan penyelenggara-an pilkada yang bergantung pada Peraturan Pemerintah. Hal ini merupakan kemunduran dari visi penyelenggaraaan pemilu yang jurdil yang bebas dari intervensi pemerintah, dan dengan demikian merupakan kemunduran pula bagi demokratisasi di Indonesia. Ditambah dengan kedudukan KPUD sebagai institusi penyelenggara pilkadal, persoalan menjadi melebar kepada masalah “pertentangan” dengan UUD 1945, yang pada pasal 22 menggariskan bahwa Pemilu dilaksanakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Kenyataan ini menyuratkan secara jelas bahwa pemilihan kepala daerah tidak dianggap sebagai bagian dari pemilih umum. Mungkin saja kesalahan terdapat pada UUD 1945 yang tidak menyatakan pilkadal sebagai bagian dari pemilihan umum. Tetapi, sepanjang pilkadal dinyatakan sebagai proses pemilihan yang mendasarkan pada prinsip-prinsip pemilihan umum, maka sulit untuk menerima logika yang mendudukkan pilkadal bukan bagian dari pemilihan umum. Karena itu, wajar saja jika terdapat kecurigaan kuat bahwa pilkadal memang sengaja didudukkan di bawah “rezim” pemerintahan daerah untuk maksud-maksud politis yang menguntungkan pemerintah pusat.
            Ketiga, terkait dengan kepanitian pengawas pilkadal. Pengawas dalam penyelenggaraan pilkadal dibentuk oleh DPRD (Pasal 57 ayat 7). Panitia Pengawas terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Panitia Pengawas juga bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya. Adanya ketentuan menyangkut unsur perguruan tinggi dan press sebagai anggota Panitia Pengawas terasa berlebihan. Bisa jadi nantinya anggota Panitia Pengawas di tingkat kabupaten/ kota didominasi oleh orang-orang yang berasal dari ibukota provinsi, mengingat sebagian besar kabupaten/kota tidak memilik press dan perguruan tinggi. Duplikasi pelaksanaan pemilu nasional (legislatif, DPD dan presiden/wakil presiden) ke dalam pemilu lokal ini seolah-seolah menggeneralisasi persoalan. Persoalan lain yang muncul terkait dengan independensi Panitia Pengawas. Sebab, DPRD merupakan “kepanjangan tangan parpol” yang turut terlibat dan sarat kepentingan dalam penyelenggaraan pilkada langsung, berikut hasil akhirnya. Dapat dipastikan parpol akan berlomba-lomba menaruh “orangnya” dalam komposisi kepanitiaan pengawas pilkada. Dengan demikian dikhawatirkan Panitia Pengawas akan menjadi kepanjangan kepentingan partai politik dalam menjalankan tugasnya, dan karena itu, tidak lagi bersifat independen.
Keempat, berkaitan dengan penetapan hasil pemilihan. Antara pasal 107 (1) dan 107 (2) terjadi kontradiksi terkait dengan jumlah suara sah untuk penetapan pasangan calon terpilih. Pada pasal 107 (1) dinyatakan calon yang memperoleh lebih dari 50% suara sah langsung ditetapkan sebagai pasangan terpilih. Tetapi ketentuan ini dibatalkan oleh ayat 2 yang menegaskan bahwa peraih suara terbanyak di atas 25 % dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih. Apabila ketentuan ini diberlakukan (paling besar diatas 25% dinyatakan terpilih), persoalan mendasar yang muncul akan berkaitan dengan kulaitas legitimasi. Pilkada dengan demikian memberikan kemungkinan terbentuknya pemerintahan “minoritas” dengan legitimasi yang lemah. Pemerintahan seperti ini mungkin sekali bukan merupakan pemerintahan yang menyelesaikan masalah, sebaliknya justru bisa jadi sumber masalah-masalah baru di daerah. Banyak persoalan lain masih dapat dirinci dari pengaturan politis tentang pilkadal. Tetapi, beberapa catatan di atas kiranya cukup untuk menunjukkan bahwa meski pilkada dapat memacu demokratisasi pada tingkat lokal, penyelenggaraannya mengandung banyak kelemahan yang dapat mengganggu langkah-langkah maju demokratisasi di daerah. Jika kelemahan ini tidak segera di atasi, pilkada malahan dapat menimbulkan komplikasi persoalan justru setelah proses pemilihan kepala daerah menetapkan hasil-hasilnya.
Selain beberapa masalah di atas masih ada beberapa masalah klasik yang membayangi pemilihan kepala daerah secara lansung seperti :

1.      Money Politik
            Rendahnya pengetahuan dan partisipasi masyarakat membuat masyarakat mudah dipengaruhi oleh money politik, belum lagi keadaan ekonomi yang lemah sangat mendukung money politik ini. Contoh yang nyata dialami oleh penulis ketika pilkada kabupaten Bandung beberapa waktu lalu di daerah cibiru ada salah satu tim sukses pasangan calon bupati yang membagi-bagikan uang dan sembako dengan kesepakatan untuk memilih pasangan calon tersebut. Ini menunjukan bahwa pilkada masih kental dengan money politik dan menjadi masalah yang sangat serius dalam proses demokrasi.
2.  Intimidasi
            Selain money politik yang sasarannya untu masyarakat golongan ekonomi lemah, intimidasi dengan kekerasan sering terjadi untuk memaksakan kehendak dalam pilkada sehingga calonnya terpilih. Menggunakan kekerasan intimidasi terhadap masyarakat sangat beresiko fatal sebab selain mencederai proses demokratisasi juga berpotensiterjadinya konflik horizontal. Hal ini sangat bertentangan dengan asas penyelenggaraan pilkada yang luber dan jurdil.
3.  Mendahului start kampanye
            Pelanggaran ini juga sangat sering terjadi, pemasangan alat peraga kampanye padahal belum memasuki masa kampanye sangat sering kita jumpai sehingga merusak pemandangan kota. Di samping itu juga pemanfaatan media televisi juga sering dilakukan padah belum memasuki jadwal kampanye.

4. Black Campaign
            Pelanggaran ini bisa bersifat fitnah, tuduhan atau peruasakan nama baik calon yang satu oleh calon yang lain. Pelanggaran ini jelas sangat merusak citra demokrasi yang seharusnya santun dalam berpolitik.
C.    Solusi Permasalahan Pemilihan Kepala Daerah
Diperlukan suatu terobosan dalam melihat kembali pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini. Setidaknya kita tidak berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena konflik antar pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa banyak dana lagi yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam proses pilkada, dan kemunduran pendidikan politik yang menciptakan pemilih-pemilih yang primitif, tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.
             Dengan melihat praktek yang terjadi tentunya sudah pantasnya pemerintah melakukan evaluasi mengenai kekurangan-kekurangan tersebut. Presiden RI ketiga B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan tonggak demokrasi yang penting di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi sinergi antara kemerdekaan dan kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya dikembalikan kepada rakyat. Presiden/Wapres dan Pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat. Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka efektifitas system pemilihan gubernur secara langsung perlu dilakukan peninjauan kembali sebagai berikut:
a.       Tinjauan yuridis
Berdasar:
1)    Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang",
2)    Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis",
3)    Pasal 28D ayat (3) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakanbahwa, "setiap warga negera berhak memperoleh kesempatan yg sama dalam pemerintahan",
            Bahwa tidak ada  perintah  pemilihan  gubernur dipilih  secara  langsung, sehingga  pemilihan gubernur dilakukan  melalui system  perwakilan tidak bertentangan dengan konstitusi.
b.      Tinjauan filosofis
1)    Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui sistem perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah dibanding dengan system pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk dipilih sama, jika persyaratan calon gubernur sama.
2)    Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk dipilih, baik sistem pemilihan secara langsung maupun melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan bagi kedua sstem tersebut sama.
3)    Dari sisi terbukanya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah (provinsi) kurang dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi operasional berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas kebijakan yang terkait dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4)    Dari sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat dan daerah, pemilihan Gubernur melalui perwakilan dimana selain DPRD, Pemerintah juga mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur akan memiliki nilai yang lebih baik, karena di satu sisi gubernur harus menjamin terlaksananya kebijakan pemerintah pusat di daerah, di sisi lain Gubernur juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah yang direpresentasikan oleh DPRD.
5)    Dari sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka posisi Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran.
6)    Dari sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi penentuan gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.

c.       Tinjauan Politis
1)    Perkuatan sistem NKRI.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan. Sistem ini bertujuan untuk menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan jumlah daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi rentang kendali pemerintahan diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang kuat dengan pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur. Untuk itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga adanya peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
2)    Penataan posisi gubernur dan sumber legitimasi.
      Pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan bupati/walikota telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota sebagai kepala daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang besar yang membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat daerah yang membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai kepala daerah sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan gubernur sebagai kepala daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka sumber legitimasi gubernur akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
d.      Tinjauan Sosiologis
1)    Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat.
Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang masih mementingkan kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan belum mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam menumbuhkan budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui pengaturan tertentu pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon bersaing secara sehat.
2)     Menumbuhkan   kesadaran   akan   kebutuhan   pemimpin   yang   mampu membawa kemajuan daerah.
            Dalam kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah, dibanding dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat setidaknya akan mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
e.       Tinjauan efektifitas dan efisiensi
            Dari segi kemudahan untuk dilaksanakan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui perwakilan jauh lebih baik dibanding dengan melalui Pilkada secara langsung. Berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung lebih banyak kelemahannya dibandingkan dengan jika dipilih melalui sistem perwakilan.
            Selanjutnya perlu juga diperhatikan mengenai sistem pemilihan wakil kepala daerah, di mana dalam UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah. Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang, banyak terjadi hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak harmonis, sehingga adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat membantu atau terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling melemahkan. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik yang saling menjatuhkan. Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak harmonis tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.



























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pemilihan kepala daerah atau yang sering di sebut pilkadamerupakan adalah pemilihan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah. Pemilihan kepala daerah pada era otonomi daerah ini merupakan sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal.
Akan tetapi, Pelakasanaan pilkada yang di laksanakan di indonesia belum sesuai dengan harapan dan tujuan. Berbagi permaslahan timbul di dalam pemilihan kepala daerah, seperti Persainmgan yang kurang jujur antara pratai politik, Konfilik antar pendukung kepala daerah, Pelaksananan Pemilihan kepala daerah yang belum sesuai ,Money Politik dan masih banyak lagi.
Diperlukan suatu terobosan untuk mengatasi permaslahan-permasalah yang tersebut.salah satunya dengan melihat kembali pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini. Setidaknya kita tidak berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena konflik antar pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa banyak dana lagi yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam proses pilkada, dan kemunduran pendidikan politik yang menciptakan pemilih-pemilih yang primitif, tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.





                                    Daftar Pustaka
Ibrahim, Ahmad.2013. Dinamika Politik Lokal . Bandung: Mandar Maju
Irtanto. 2008. Dinamika Politik Lokal Era Otonomi Daerah.  Surabaya : Pustaka Pelajar
Santoso, Agus. 2013. Menyikap Tabir Otonomi Daerah di Indonesia. Samarinda : Puataka Pelajar
Sentosa, Sembiring. 2009. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Pemerintahan Daerah (Pemda). Bandung: Nuansa Aulia

Undang-Undang  No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah 


PERMASALAHAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH (PEMULUKADA)
( Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah otonomi daerah)



Disusun Oleh:

Nama : Fathur Rozi
NIM : 3601414027






PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNNES 2015





BAB 1
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Salah satu hasil glombang reformasi yang terjadi tahun 1998 adalah UU no. 22 tahun 1999, yang kemudian di ganti dengan uu no. 32 tahun 2004, serta mengalami pergantian dengan uu.no 23 tahun 2014 yaitu tentang pemerintah daerah atau yang lebih di kenal dengan otonomi daerah. Kehadiran Undang-undang tersebut merupakan peluang untuk mewujuddkan aspirasi daerah yaitu keinginan untuk memiliki kepala daerah atau pemimpin lokal yang di sepakat oleh rakyat melalui pemilihan umum. Secara teknis pemilihan umum merupakan sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, seperti yang diamanatkan dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 1 ayat 2. Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat baik ditingkat pemerintahan  pusat maupun pemerintahan daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemilihan kepala daerah sudah ada sejak era orde lama dengan penunjukkan langsung, hingga memasuki era orde baru dengan sistem sentralistik serta sekarang ini era revormasi di mana pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan secara terbuka, yakni dipilih oleh warga masyarakat secara langsung. Pemilihan kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung  jawab. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal . Implementasi dari pemilihan kepala daerah pada dasarnya dapat memenuhi ekspektasi pemerintahan khususnya warga masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan langsung warga masyarakat dapat memilih pemimpin yang dianggap memiliki kapabilitas dan kompetensi yang baik dalam memimpin daerahanya, namun yang terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik dan juga tingkat pendidikan serta tingkat ekonomi pemilih dalam pemilihan umum yang memengaruhi para pemilih dalam memilih kepala daerah. Tingkat  pendidikan maupun ekonomi Masyarakat Indonesia terbukti dalam beberapa pemilu setelah masa reformasi sangat berpengaruh, inilah yang menimbulkan maraknya praktek menyimpang seperti Money Politic. Yang kemudian sangat menciderai sistem demokrasi yang dibangun oleh bangsa Indonesia agar tercipta good governance. Oleh karena itu, Penulis akan memberikan gambaran mengenai permasalah pemilaihan kepala daerah pada masa otonimi daerah.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia?
2.      Apa permasalahan yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah di era otonomi daerah?
3.      Apa Solusi untuk mengatasi permasalahan dalam pemilihan kepala daerah di era otonomi daerah ini?














BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pemilihan Kepala Daerah  di Indonesia
Pilkada adalah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan diselenggarakan pemilihan umum, dimana pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengalaman sejarah kemimpinan nasional di Indonesia menunjukan adanya pembatasan ruang gerak demokrasi yang dimilik oleh rakyat. Hal ini tecermin sejak kepemimpinan nasional yaitu sejak indonesia merdeka sampai era reformasi, Presiden tidak di pilih langsun oleh rakyat. Hal tersebut dijadikan tolak ukur untuk menentukan negra itu demokrasi atau tidak , walaupun demokrasi tidak smata-mata ditentukan adeanya pemilihan oleh rakayat secara langsung. Sejak merdeka sampai reformasi di kumandagkan kepemimpinan diindonesia selalu mengalami permasalahan. Presiden yang pertama , yaitu Presiden Soekarno telah memimpin Indonesia dari 1945 sampai turunya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966. Peresiden sukarno tidak di pilih baik secara parlemen ataupun secara langsung oleh rakyat. Kemudian Presiden yang kedua yaitu Presiden Soeharto walaupun sudah dipilih melalui parlemen, tetapi pemerintahanya seperti tidak ada batasan yang mengaturnya, Sehingga Presiden Soeharto dapat terus berkuasa sampai akhirnya dipaksan untuk turun jabatan melalui reformasi lalu digantikan oleh wakilnya, Habibie.
Pejalan sejarah kepemimpinan nasional tersebutlah yang menyebabkan munculnya tuntutan untuk diadakan pemilihan secara langsun oleh rakyat, baik itu pemilihan presiden dan wakilnya maupun pemilihan kepala daerah. Pemilihan secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung  jawab.
            Diterapkannya pilkada merupakan event demokrasi yang bermakna dalam sejarah politik Indonesia. Untuk pertama kali kontestasi kepala daerah dengan pemilihan langsung oleh rakyat diterapkan setelah lebih separuh abad republik ini menyatakan kemerdekaan-nya. Ini juga bersifat koheren dengan penyelenggaraan pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung (Pasal 6 A UUD 1945). Dalam konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, pilkada bisa jadi merupakan pilar yang bersifat memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional. Sebagaimana dinyatakan oleh Tip O’ Neill, “all politics is local”,1 yang berarti demokrasi akan berkembang subur dan terbangun kuat di aras nasional apabila dalam tingkatan yang lebih rendah (lokal) nilai-nilai demokrasi berakar kuat. Pilkada mewujudkan makna tersebut. Dengan pemahaman seperti itu, penyelenggaraan pilkadal dapat memberikan dampak positif terhadap penguatan demokrasi di Indonesia.
            Pertama, partisipasi politik. Dalam pilkadal, rakyat terlibat langsung untuk menentukan siapa layak (memiliki kredibilitas dan kapabilitas memperjuangkan aspirasi dan memenuhi kepentingan rakyat) menjadi “pelayan” (pejabat publik) mereka. Melalui proses semacam itu, dapat tumbuh kesadaran bahwa merekalah (rakyat) pemegang kedaulatan politik yang sebenarnya. Termasuk dalam kesadaran ini adalah kehati-hatian dalam menentukan pilihan, sebab kesalahan memilih dapat membawa akibat buruk terhadap kehidupan mereka.
            Kedua, kompetisi politik. Pilkada membuka ruang untuk kompetisi yang fair dan adil antara kontestan yang bersaing. Diharapkan tidak ada lagi suatu kontestan dari partai politik tertentu mendominasi secara terus menerus proses yang berlangsung dan menutup ruang bagi kelompok lainnya untuk turut berkompetisi secara fair.
            Ketiga, legitimasi politik. Berbeda dengan cara pilkada tidak langsung seperti yang diterapkan sebelumnya, yakni melalui institusi DPRD, pilkada akan memberikan legitimasi yang kuat kepada kepemimpinan daerah terpilih. Dalam mekanisme pemilihan langsung ini, kepemimpinan yang terwujud akan merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan kepentingan konstituen pemilih (rakyat). Sehingga dapat dipastikan bahwa kandidat yang terpilih secara demokratis mendapat dukungan dari bagian besar dari masyarakat pemilih. Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh DPRD bersifat elitis yang kerap kali menelikung aspirasi rakyat.
             Keempat, minimalisasi manipulasi dan kecurangan. Salah satu unsur yang mendorong penyelenggaraan pilkadal adalah maraknya berbagai kasus money politics dan bentuk kecurangan lainnya dalam praktek pemilihan kepala daerah yang selama ini terjadi. Intervensi pemerintah memang dapat diminimalisasi dalam pilkada selama hampir 4 tahun otonomi daerah dilangsungkan. Namun bandul permasalahan kini malah berayun ke tubuh lembaga perwakilan daerah yang diberi kewenangan memilih kepala daerah. Politik uang (money politics) terjadi hampir secara merata ke seluruh daerah.
            Kelima, accountability. Dalam pemilihan langsung oleh rakyat, accountability kepala daerah menjadi sangat penting. Sebab, apabila rakyat sebagai pemilih menilai bahwa kepala daerah yang terpilih ternyata tidak dapat menjalankan tugas-tugasnya secara baik dan bertanggung jawab, rakyat akan memberikan sanksi dalam pilkadal berikutnya dengan tidak memilihnya kembali.
B.     Permasalah Pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung  jawab. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal . Implementasi dari pemilihan kepala daerah pada dasarnya dapat memenuhi ekspektasi pemerintahan khususnya warga masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan langsung warga masyarakat dapat memilih pemimpin yang dianggap memiliki kapabilitas dan kompetensi yang baik dalam memimpin daerahanya, namun yang terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik yang menyebabkan berbagain masalah. Masal yang pertama yaitu berkaitan dengan pencalonan. Sejumlah ketentuan mengatur tentang hal ini. Pasal 59 ayat 1 menyebutkan: “Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Dalam Pasal 59 (2) dinyatakan bahwa yang dapat mendaftarkan pasangan calon adalah parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPRD. Keberadaan calon perseorangan dinyatakan dalam pasal 59 (3), bahwa “Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.” Ketentuan-ketentuan ini nampak kurang memihak pada prinsip partisipasi dan kompetisi politik. Sebaliknya, kepentingan-kepentingan partai politik, terutama partai-partai besar, kelihatan menonjol. Ayat 1 di atas, misalnya, menegaskan sebenarnya bahwa hanya melalui partai politik pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dinominasi atau menominasikan diri untuk pilkadal ini. Ketentuan semacam ini membatasi partisipasi publik, dan sebaliknya mengutamakan partai politik. Apalagi jika dikaitkan dengan ketentuan berikutnya pada ayat 2, hanya partai-partai besar dapat berpartisipasi dalam proses pemilihan ini. Lebih dari itu, ayat 3 tidak memberikan jaminan bahwa mekanisme seleksi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh partai politik akan dilangsungkan secara demokratis dan transparan. Sebab ketentuan ini amat longgar, karena tidak memberikan batasan yang jelas tentang kedua mekanisme tersebut dan sanksi yang tegas jika kewajiban ini tidak dilaksanakan. Dengan ketentuan seperti ini, kompetisi menjadi terbatas dan tertutup yang hasilnya bisa jadi merupakan transaksi politik “bawah tangan.” Calon-calon yang berkualitas, kompeten dan kapable, serta bersih dalam proses pilkada mungkin sekali akan sulit diperoleh.
Kedua, soal penyelenggara pilkada. Dalam pasal 57 ayat 1 ditegaskan bahwa pilkadal diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD. Selanjutnya pasal 65 ayat 4 menyatakan bahwa KPUD berpedoman kepada Peraturan Pemerintah (PP) dalam melaksanakan tugas persiapan dan pelaksanaan pilkadal. Persoalan yang dikhawatirkan dari kenyataan ini adalah rawannya KPUD dari intervensi dan tekanan dari elite ataupun massa partai politik lokal, terutama dalam masalah tarik ulur pencalonan. Di samping itu, pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD mengandung beberapa ketidakjelasan. UU tersebut tidak merinci  bentuk dan proses pertanggungjawaban serta pelaporan KPUD kepada DPRD. Termasuk konsekuensi-konsekuensi yang dimunculkan apabila DPRD ternyata mengambil sikap menolak pertanggung-jawaban yang disampaikan KPUD. Selain itu, DPRD juga akan menjadi sasaran politis, mulai sejak proses awal, ketika ketidak-puasan muncul di kalangan konstituen tertentu. Persoalan lain yang bersifat lebih substansiil terkait dengan penyelenggara-an pilkada yang bergantung pada Peraturan Pemerintah. Hal ini merupakan kemunduran dari visi penyelenggaraaan pemilu yang jurdil yang bebas dari intervensi pemerintah, dan dengan demikian merupakan kemunduran pula bagi demokratisasi di Indonesia. Ditambah dengan kedudukan KPUD sebagai institusi penyelenggara pilkadal, persoalan menjadi melebar kepada masalah “pertentangan” dengan UUD 1945, yang pada pasal 22 menggariskan bahwa Pemilu dilaksanakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Kenyataan ini menyuratkan secara jelas bahwa pemilihan kepala daerah tidak dianggap sebagai bagian dari pemilih umum. Mungkin saja kesalahan terdapat pada UUD 1945 yang tidak menyatakan pilkadal sebagai bagian dari pemilihan umum. Tetapi, sepanjang pilkadal dinyatakan sebagai proses pemilihan yang mendasarkan pada prinsip-prinsip pemilihan umum, maka sulit untuk menerima logika yang mendudukkan pilkadal bukan bagian dari pemilihan umum. Karena itu, wajar saja jika terdapat kecurigaan kuat bahwa pilkadal memang sengaja didudukkan di bawah “rezim” pemerintahan daerah untuk maksud-maksud politis yang menguntungkan pemerintah pusat.
            Ketiga, terkait dengan kepanitian pengawas pilkadal. Pengawas dalam penyelenggaraan pilkadal dibentuk oleh DPRD (Pasal 57 ayat 7). Panitia Pengawas terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Panitia Pengawas juga bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya. Adanya ketentuan menyangkut unsur perguruan tinggi dan press sebagai anggota Panitia Pengawas terasa berlebihan. Bisa jadi nantinya anggota Panitia Pengawas di tingkat kabupaten/ kota didominasi oleh orang-orang yang berasal dari ibukota provinsi, mengingat sebagian besar kabupaten/kota tidak memilik press dan perguruan tinggi. Duplikasi pelaksanaan pemilu nasional (legislatif, DPD dan presiden/wakil presiden) ke dalam pemilu lokal ini seolah-seolah menggeneralisasi persoalan. Persoalan lain yang muncul terkait dengan independensi Panitia Pengawas. Sebab, DPRD merupakan “kepanjangan tangan parpol” yang turut terlibat dan sarat kepentingan dalam penyelenggaraan pilkada langsung, berikut hasil akhirnya. Dapat dipastikan parpol akan berlomba-lomba menaruh “orangnya” dalam komposisi kepanitiaan pengawas pilkada. Dengan demikian dikhawatirkan Panitia Pengawas akan menjadi kepanjangan kepentingan partai politik dalam menjalankan tugasnya, dan karena itu, tidak lagi bersifat independen.
Keempat, berkaitan dengan penetapan hasil pemilihan. Antara pasal 107 (1) dan 107 (2) terjadi kontradiksi terkait dengan jumlah suara sah untuk penetapan pasangan calon terpilih. Pada pasal 107 (1) dinyatakan calon yang memperoleh lebih dari 50% suara sah langsung ditetapkan sebagai pasangan terpilih. Tetapi ketentuan ini dibatalkan oleh ayat 2 yang menegaskan bahwa peraih suara terbanyak di atas 25 % dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih. Apabila ketentuan ini diberlakukan (paling besar diatas 25% dinyatakan terpilih), persoalan mendasar yang muncul akan berkaitan dengan kulaitas legitimasi. Pilkada dengan demikian memberikan kemungkinan terbentuknya pemerintahan “minoritas” dengan legitimasi yang lemah. Pemerintahan seperti ini mungkin sekali bukan merupakan pemerintahan yang menyelesaikan masalah, sebaliknya justru bisa jadi sumber masalah-masalah baru di daerah. Banyak persoalan lain masih dapat dirinci dari pengaturan politis tentang pilkadal. Tetapi, beberapa catatan di atas kiranya cukup untuk menunjukkan bahwa meski pilkada dapat memacu demokratisasi pada tingkat lokal, penyelenggaraannya mengandung banyak kelemahan yang dapat mengganggu langkah-langkah maju demokratisasi di daerah. Jika kelemahan ini tidak segera di atasi, pilkada malahan dapat menimbulkan komplikasi persoalan justru setelah proses pemilihan kepala daerah menetapkan hasil-hasilnya.
Selain beberapa masalah di atas masih ada beberapa masalah klasik yang membayangi pemilihan kepala daerah secara lansung seperti :

1.      Money Politik
            Rendahnya pengetahuan dan partisipasi masyarakat membuat masyarakat mudah dipengaruhi oleh money politik, belum lagi keadaan ekonomi yang lemah sangat mendukung money politik ini. Contoh yang nyata dialami oleh penulis ketika pilkada kabupaten Bandung beberapa waktu lalu di daerah cibiru ada salah satu tim sukses pasangan calon bupati yang membagi-bagikan uang dan sembako dengan kesepakatan untuk memilih pasangan calon tersebut. Ini menunjukan bahwa pilkada masih kental dengan money politik dan menjadi masalah yang sangat serius dalam proses demokrasi.
2.  Intimidasi
            Selain money politik yang sasarannya untu masyarakat golongan ekonomi lemah, intimidasi dengan kekerasan sering terjadi untuk memaksakan kehendak dalam pilkada sehingga calonnya terpilih. Menggunakan kekerasan intimidasi terhadap masyarakat sangat beresiko fatal sebab selain mencederai proses demokratisasi juga berpotensiterjadinya konflik horizontal. Hal ini sangat bertentangan dengan asas penyelenggaraan pilkada yang luber dan jurdil.
3.  Mendahului start kampanye
            Pelanggaran ini juga sangat sering terjadi, pemasangan alat peraga kampanye padahal belum memasuki masa kampanye sangat sering kita jumpai sehingga merusak pemandangan kota. Di samping itu juga pemanfaatan media televisi juga sering dilakukan padah belum memasuki jadwal kampanye.

4. Black Campaign
            Pelanggaran ini bisa bersifat fitnah, tuduhan atau peruasakan nama baik calon yang satu oleh calon yang lain. Pelanggaran ini jelas sangat merusak citra demokrasi yang seharusnya santun dalam berpolitik.
C.    Solusi Permasalahan Pemilihan Kepala Daerah
Diperlukan suatu terobosan dalam melihat kembali pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini. Setidaknya kita tidak berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena konflik antar pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa banyak dana lagi yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam proses pilkada, dan kemunduran pendidikan politik yang menciptakan pemilih-pemilih yang primitif, tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.
             Dengan melihat praktek yang terjadi tentunya sudah pantasnya pemerintah melakukan evaluasi mengenai kekurangan-kekurangan tersebut. Presiden RI ketiga B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan tonggak demokrasi yang penting di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi sinergi antara kemerdekaan dan kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya dikembalikan kepada rakyat. Presiden/Wapres dan Pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat. Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka efektifitas system pemilihan gubernur secara langsung perlu dilakukan peninjauan kembali sebagai berikut:
a.       Tinjauan yuridis
Berdasar:
1)    Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang",
2)    Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis",
3)    Pasal 28D ayat (3) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakanbahwa, "setiap warga negera berhak memperoleh kesempatan yg sama dalam pemerintahan",
            Bahwa tidak ada  perintah  pemilihan  gubernur dipilih  secara  langsung, sehingga  pemilihan gubernur dilakukan  melalui system  perwakilan tidak bertentangan dengan konstitusi.
b.      Tinjauan filosofis
1)    Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui sistem perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah dibanding dengan system pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk dipilih sama, jika persyaratan calon gubernur sama.
2)    Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk dipilih, baik sistem pemilihan secara langsung maupun melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan bagi kedua sstem tersebut sama.
3)    Dari sisi terbukanya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah (provinsi) kurang dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi operasional berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas kebijakan yang terkait dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4)    Dari sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat dan daerah, pemilihan Gubernur melalui perwakilan dimana selain DPRD, Pemerintah juga mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur akan memiliki nilai yang lebih baik, karena di satu sisi gubernur harus menjamin terlaksananya kebijakan pemerintah pusat di daerah, di sisi lain Gubernur juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah yang direpresentasikan oleh DPRD.
5)    Dari sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka posisi Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran.
6)    Dari sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi penentuan gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.

c.       Tinjauan Politis
1)    Perkuatan sistem NKRI.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan. Sistem ini bertujuan untuk menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan jumlah daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi rentang kendali pemerintahan diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang kuat dengan pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur. Untuk itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga adanya peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
2)    Penataan posisi gubernur dan sumber legitimasi.
      Pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan bupati/walikota telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota sebagai kepala daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang besar yang membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat daerah yang membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai kepala daerah sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan gubernur sebagai kepala daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka sumber legitimasi gubernur akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
d.      Tinjauan Sosiologis
1)    Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat.
Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang masih mementingkan kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan belum mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam menumbuhkan budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui pengaturan tertentu pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon bersaing secara sehat.
2)     Menumbuhkan   kesadaran   akan   kebutuhan   pemimpin   yang   mampu membawa kemajuan daerah.
            Dalam kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah, dibanding dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat setidaknya akan mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
e.       Tinjauan efektifitas dan efisiensi
            Dari segi kemudahan untuk dilaksanakan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui perwakilan jauh lebih baik dibanding dengan melalui Pilkada secara langsung. Berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung lebih banyak kelemahannya dibandingkan dengan jika dipilih melalui sistem perwakilan.
            Selanjutnya perlu juga diperhatikan mengenai sistem pemilihan wakil kepala daerah, di mana dalam UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah. Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang, banyak terjadi hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak harmonis, sehingga adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat membantu atau terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling melemahkan. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik yang saling menjatuhkan. Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak harmonis tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.



























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pemilihan kepala daerah atau yang sering di sebut pilkadamerupakan adalah pemilihan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah. Pemilihan kepala daerah pada era otonomi daerah ini merupakan sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal.
Akan tetapi, Pelakasanaan pilkada yang di laksanakan di indonesia belum sesuai dengan harapan dan tujuan. Berbagi permaslahan timbul di dalam pemilihan kepala daerah, seperti Persainmgan yang kurang jujur antara pratai politik, Konfilik antar pendukung kepala daerah, Pelaksananan Pemilihan kepala daerah yang belum sesuai ,Money Politik dan masih banyak lagi.
Diperlukan suatu terobosan untuk mengatasi permaslahan-permasalah yang tersebut.salah satunya dengan melihat kembali pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini. Setidaknya kita tidak berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena konflik antar pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa banyak dana lagi yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam proses pilkada, dan kemunduran pendidikan politik yang menciptakan pemilih-pemilih yang primitif, tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.





                                    Daftar Pustaka
Ibrahim, Ahmad.2013. Dinamika Politik Lokal . Bandung: Mandar Maju
Irtanto. 2008. Dinamika Politik Lokal Era Otonomi Daerah.  Surabaya : Pustaka Pelajar
Santoso, Agus. 2013. Menyikap Tabir Otonomi Daerah di Indonesia. Samarinda : Puataka Pelajar
Sentosa, Sembiring. 2009. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Pemerintahan Daerah (Pemda). Bandung: Nuansa Aulia
Undang-Undang  No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah 


PERMASALAHAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH (PEMULUKADA)
( Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah otonomi daerah)



Disusun Oleh:

Nama : Fathur Rozi
NIM : 3601414027






PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNNES 2015





BAB 1
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Salah satu hasil glombang reformasi yang terjadi tahun 1998 adalah UU no. 22 tahun 1999, yang kemudian di ganti dengan uu no. 32 tahun 2004, serta mengalami pergantian dengan uu.no 23 tahun 2014 yaitu tentang pemerintah daerah atau yang lebih di kenal dengan otonomi daerah. Kehadiran Undang-undang tersebut merupakan peluang untuk mewujuddkan aspirasi daerah yaitu keinginan untuk memiliki kepala daerah atau pemimpin lokal yang di sepakat oleh rakyat melalui pemilihan umum. Secara teknis pemilihan umum merupakan sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, seperti yang diamanatkan dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 1 ayat 2. Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat baik ditingkat pemerintahan  pusat maupun pemerintahan daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemilihan kepala daerah sudah ada sejak era orde lama dengan penunjukkan langsung, hingga memasuki era orde baru dengan sistem sentralistik serta sekarang ini era revormasi di mana pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan secara terbuka, yakni dipilih oleh warga masyarakat secara langsung. Pemilihan kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung  jawab. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal . Implementasi dari pemilihan kepala daerah pada dasarnya dapat memenuhi ekspektasi pemerintahan khususnya warga masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan langsung warga masyarakat dapat memilih pemimpin yang dianggap memiliki kapabilitas dan kompetensi yang baik dalam memimpin daerahanya, namun yang terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik dan juga tingkat pendidikan serta tingkat ekonomi pemilih dalam pemilihan umum yang memengaruhi para pemilih dalam memilih kepala daerah. Tingkat  pendidikan maupun ekonomi Masyarakat Indonesia terbukti dalam beberapa pemilu setelah masa reformasi sangat berpengaruh, inilah yang menimbulkan maraknya praktek menyimpang seperti Money Politic. Yang kemudian sangat menciderai sistem demokrasi yang dibangun oleh bangsa Indonesia agar tercipta good governance. Oleh karena itu, Penulis akan memberikan gambaran mengenai permasalah pemilaihan kepala daerah pada masa otonimi daerah.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia?
2.      Apa permasalahan yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah di era otonomi daerah?
3.      Apa Solusi untuk mengatasi permasalahan dalam pemilihan kepala daerah di era otonomi daerah ini?














BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pemilihan Kepala Daerah  di Indonesia
Pilkada adalah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan diselenggarakan pemilihan umum, dimana pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengalaman sejarah kemimpinan nasional di Indonesia menunjukan adanya pembatasan ruang gerak demokrasi yang dimilik oleh rakyat. Hal ini tecermin sejak kepemimpinan nasional yaitu sejak indonesia merdeka sampai era reformasi, Presiden tidak di pilih langsun oleh rakyat. Hal tersebut dijadikan tolak ukur untuk menentukan negra itu demokrasi atau tidak , walaupun demokrasi tidak smata-mata ditentukan adeanya pemilihan oleh rakayat secara langsung. Sejak merdeka sampai reformasi di kumandagkan kepemimpinan diindonesia selalu mengalami permasalahan. Presiden yang pertama , yaitu Presiden Soekarno telah memimpin Indonesia dari 1945 sampai turunya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966. Peresiden sukarno tidak di pilih baik secara parlemen ataupun secara langsung oleh rakyat. Kemudian Presiden yang kedua yaitu Presiden Soeharto walaupun sudah dipilih melalui parlemen, tetapi pemerintahanya seperti tidak ada batasan yang mengaturnya, Sehingga Presiden Soeharto dapat terus berkuasa sampai akhirnya dipaksan untuk turun jabatan melalui reformasi lalu digantikan oleh wakilnya, Habibie.
Pejalan sejarah kepemimpinan nasional tersebutlah yang menyebabkan munculnya tuntutan untuk diadakan pemilihan secara langsun oleh rakyat, baik itu pemilihan presiden dan wakilnya maupun pemilihan kepala daerah. Pemilihan secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung  jawab.
            Diterapkannya pilkada merupakan event demokrasi yang bermakna dalam sejarah politik Indonesia. Untuk pertama kali kontestasi kepala daerah dengan pemilihan langsung oleh rakyat diterapkan setelah lebih separuh abad republik ini menyatakan kemerdekaan-nya. Ini juga bersifat koheren dengan penyelenggaraan pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung (Pasal 6 A UUD 1945). Dalam konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, pilkada bisa jadi merupakan pilar yang bersifat memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional. Sebagaimana dinyatakan oleh Tip O’ Neill, “all politics is local”,1 yang berarti demokrasi akan berkembang subur dan terbangun kuat di aras nasional apabila dalam tingkatan yang lebih rendah (lokal) nilai-nilai demokrasi berakar kuat. Pilkada mewujudkan makna tersebut. Dengan pemahaman seperti itu, penyelenggaraan pilkadal dapat memberikan dampak positif terhadap penguatan demokrasi di Indonesia.
            Pertama, partisipasi politik. Dalam pilkadal, rakyat terlibat langsung untuk menentukan siapa layak (memiliki kredibilitas dan kapabilitas memperjuangkan aspirasi dan memenuhi kepentingan rakyat) menjadi “pelayan” (pejabat publik) mereka. Melalui proses semacam itu, dapat tumbuh kesadaran bahwa merekalah (rakyat) pemegang kedaulatan politik yang sebenarnya. Termasuk dalam kesadaran ini adalah kehati-hatian dalam menentukan pilihan, sebab kesalahan memilih dapat membawa akibat buruk terhadap kehidupan mereka.
            Kedua, kompetisi politik. Pilkada membuka ruang untuk kompetisi yang fair dan adil antara kontestan yang bersaing. Diharapkan tidak ada lagi suatu kontestan dari partai politik tertentu mendominasi secara terus menerus proses yang berlangsung dan menutup ruang bagi kelompok lainnya untuk turut berkompetisi secara fair.
            Ketiga, legitimasi politik. Berbeda dengan cara pilkada tidak langsung seperti yang diterapkan sebelumnya, yakni melalui institusi DPRD, pilkada akan memberikan legitimasi yang kuat kepada kepemimpinan daerah terpilih. Dalam mekanisme pemilihan langsung ini, kepemimpinan yang terwujud akan merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan kepentingan konstituen pemilih (rakyat). Sehingga dapat dipastikan bahwa kandidat yang terpilih secara demokratis mendapat dukungan dari bagian besar dari masyarakat pemilih. Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh DPRD bersifat elitis yang kerap kali menelikung aspirasi rakyat.
             Keempat, minimalisasi manipulasi dan kecurangan. Salah satu unsur yang mendorong penyelenggaraan pilkadal adalah maraknya berbagai kasus money politics dan bentuk kecurangan lainnya dalam praktek pemilihan kepala daerah yang selama ini terjadi. Intervensi pemerintah memang dapat diminimalisasi dalam pilkada selama hampir 4 tahun otonomi daerah dilangsungkan. Namun bandul permasalahan kini malah berayun ke tubuh lembaga perwakilan daerah yang diberi kewenangan memilih kepala daerah. Politik uang (money politics) terjadi hampir secara merata ke seluruh daerah.
            Kelima, accountability. Dalam pemilihan langsung oleh rakyat, accountability kepala daerah menjadi sangat penting. Sebab, apabila rakyat sebagai pemilih menilai bahwa kepala daerah yang terpilih ternyata tidak dapat menjalankan tugas-tugasnya secara baik dan bertanggung jawab, rakyat akan memberikan sanksi dalam pilkadal berikutnya dengan tidak memilihnya kembali.
B.     Permasalah Pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung  jawab. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal . Implementasi dari pemilihan kepala daerah pada dasarnya dapat memenuhi ekspektasi pemerintahan khususnya warga masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan langsung warga masyarakat dapat memilih pemimpin yang dianggap memiliki kapabilitas dan kompetensi yang baik dalam memimpin daerahanya, namun yang terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik yang menyebabkan berbagain masalah. Masal yang pertama yaitu berkaitan dengan pencalonan. Sejumlah ketentuan mengatur tentang hal ini. Pasal 59 ayat 1 menyebutkan: “Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Dalam Pasal 59 (2) dinyatakan bahwa yang dapat mendaftarkan pasangan calon adalah parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPRD. Keberadaan calon perseorangan dinyatakan dalam pasal 59 (3), bahwa “Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.” Ketentuan-ketentuan ini nampak kurang memihak pada prinsip partisipasi dan kompetisi politik. Sebaliknya, kepentingan-kepentingan partai politik, terutama partai-partai besar, kelihatan menonjol. Ayat 1 di atas, misalnya, menegaskan sebenarnya bahwa hanya melalui partai politik pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dinominasi atau menominasikan diri untuk pilkadal ini. Ketentuan semacam ini membatasi partisipasi publik, dan sebaliknya mengutamakan partai politik. Apalagi jika dikaitkan dengan ketentuan berikutnya pada ayat 2, hanya partai-partai besar dapat berpartisipasi dalam proses pemilihan ini. Lebih dari itu, ayat 3 tidak memberikan jaminan bahwa mekanisme seleksi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh partai politik akan dilangsungkan secara demokratis dan transparan. Sebab ketentuan ini amat longgar, karena tidak memberikan batasan yang jelas tentang kedua mekanisme tersebut dan sanksi yang tegas jika kewajiban ini tidak dilaksanakan. Dengan ketentuan seperti ini, kompetisi menjadi terbatas dan tertutup yang hasilnya bisa jadi merupakan transaksi politik “bawah tangan.” Calon-calon yang berkualitas, kompeten dan kapable, serta bersih dalam proses pilkada mungkin sekali akan sulit diperoleh.
Kedua, soal penyelenggara pilkada. Dalam pasal 57 ayat 1 ditegaskan bahwa pilkadal diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD. Selanjutnya pasal 65 ayat 4 menyatakan bahwa KPUD berpedoman kepada Peraturan Pemerintah (PP) dalam melaksanakan tugas persiapan dan pelaksanaan pilkadal. Persoalan yang dikhawatirkan dari kenyataan ini adalah rawannya KPUD dari intervensi dan tekanan dari elite ataupun massa partai politik lokal, terutama dalam masalah tarik ulur pencalonan. Di samping itu, pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD mengandung beberapa ketidakjelasan. UU tersebut tidak merinci  bentuk dan proses pertanggungjawaban serta pelaporan KPUD kepada DPRD. Termasuk konsekuensi-konsekuensi yang dimunculkan apabila DPRD ternyata mengambil sikap menolak pertanggung-jawaban yang disampaikan KPUD. Selain itu, DPRD juga akan menjadi sasaran politis, mulai sejak proses awal, ketika ketidak-puasan muncul di kalangan konstituen tertentu. Persoalan lain yang bersifat lebih substansiil terkait dengan penyelenggara-an pilkada yang bergantung pada Peraturan Pemerintah. Hal ini merupakan kemunduran dari visi penyelenggaraaan pemilu yang jurdil yang bebas dari intervensi pemerintah, dan dengan demikian merupakan kemunduran pula bagi demokratisasi di Indonesia. Ditambah dengan kedudukan KPUD sebagai institusi penyelenggara pilkadal, persoalan menjadi melebar kepada masalah “pertentangan” dengan UUD 1945, yang pada pasal 22 menggariskan bahwa Pemilu dilaksanakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Kenyataan ini menyuratkan secara jelas bahwa pemilihan kepala daerah tidak dianggap sebagai bagian dari pemilih umum. Mungkin saja kesalahan terdapat pada UUD 1945 yang tidak menyatakan pilkadal sebagai bagian dari pemilihan umum. Tetapi, sepanjang pilkadal dinyatakan sebagai proses pemilihan yang mendasarkan pada prinsip-prinsip pemilihan umum, maka sulit untuk menerima logika yang mendudukkan pilkadal bukan bagian dari pemilihan umum. Karena itu, wajar saja jika terdapat kecurigaan kuat bahwa pilkadal memang sengaja didudukkan di bawah “rezim” pemerintahan daerah untuk maksud-maksud politis yang menguntungkan pemerintah pusat.
            Ketiga, terkait dengan kepanitian pengawas pilkadal. Pengawas dalam penyelenggaraan pilkadal dibentuk oleh DPRD (Pasal 57 ayat 7). Panitia Pengawas terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Panitia Pengawas juga bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya. Adanya ketentuan menyangkut unsur perguruan tinggi dan press sebagai anggota Panitia Pengawas terasa berlebihan. Bisa jadi nantinya anggota Panitia Pengawas di tingkat kabupaten/ kota didominasi oleh orang-orang yang berasal dari ibukota provinsi, mengingat sebagian besar kabupaten/kota tidak memilik press dan perguruan tinggi. Duplikasi pelaksanaan pemilu nasional (legislatif, DPD dan presiden/wakil presiden) ke dalam pemilu lokal ini seolah-seolah menggeneralisasi persoalan. Persoalan lain yang muncul terkait dengan independensi Panitia Pengawas. Sebab, DPRD merupakan “kepanjangan tangan parpol” yang turut terlibat dan sarat kepentingan dalam penyelenggaraan pilkada langsung, berikut hasil akhirnya. Dapat dipastikan parpol akan berlomba-lomba menaruh “orangnya” dalam komposisi kepanitiaan pengawas pilkada. Dengan demikian dikhawatirkan Panitia Pengawas akan menjadi kepanjangan kepentingan partai politik dalam menjalankan tugasnya, dan karena itu, tidak lagi bersifat independen.
Keempat, berkaitan dengan penetapan hasil pemilihan. Antara pasal 107 (1) dan 107 (2) terjadi kontradiksi terkait dengan jumlah suara sah untuk penetapan pasangan calon terpilih. Pada pasal 107 (1) dinyatakan calon yang memperoleh lebih dari 50% suara sah langsung ditetapkan sebagai pasangan terpilih. Tetapi ketentuan ini dibatalkan oleh ayat 2 yang menegaskan bahwa peraih suara terbanyak di atas 25 % dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih. Apabila ketentuan ini diberlakukan (paling besar diatas 25% dinyatakan terpilih), persoalan mendasar yang muncul akan berkaitan dengan kulaitas legitimasi. Pilkada dengan demikian memberikan kemungkinan terbentuknya pemerintahan “minoritas” dengan legitimasi yang lemah. Pemerintahan seperti ini mungkin sekali bukan merupakan pemerintahan yang menyelesaikan masalah, sebaliknya justru bisa jadi sumber masalah-masalah baru di daerah. Banyak persoalan lain masih dapat dirinci dari pengaturan politis tentang pilkadal. Tetapi, beberapa catatan di atas kiranya cukup untuk menunjukkan bahwa meski pilkada dapat memacu demokratisasi pada tingkat lokal, penyelenggaraannya mengandung banyak kelemahan yang dapat mengganggu langkah-langkah maju demokratisasi di daerah. Jika kelemahan ini tidak segera di atasi, pilkada malahan dapat menimbulkan komplikasi persoalan justru setelah proses pemilihan kepala daerah menetapkan hasil-hasilnya.
Selain beberapa masalah di atas masih ada beberapa masalah klasik yang membayangi pemilihan kepala daerah secara lansung seperti :

1.      Money Politik
            Rendahnya pengetahuan dan partisipasi masyarakat membuat masyarakat mudah dipengaruhi oleh money politik, belum lagi keadaan ekonomi yang lemah sangat mendukung money politik ini. Contoh yang nyata dialami oleh penulis ketika pilkada kabupaten Bandung beberapa waktu lalu di daerah cibiru ada salah satu tim sukses pasangan calon bupati yang membagi-bagikan uang dan sembako dengan kesepakatan untuk memilih pasangan calon tersebut. Ini menunjukan bahwa pilkada masih kental dengan money politik dan menjadi masalah yang sangat serius dalam proses demokrasi.
2.  Intimidasi
            Selain money politik yang sasarannya untu masyarakat golongan ekonomi lemah, intimidasi dengan kekerasan sering terjadi untuk memaksakan kehendak dalam pilkada sehingga calonnya terpilih. Menggunakan kekerasan intimidasi terhadap masyarakat sangat beresiko fatal sebab selain mencederai proses demokratisasi juga berpotensiterjadinya konflik horizontal. Hal ini sangat bertentangan dengan asas penyelenggaraan pilkada yang luber dan jurdil.
3.  Mendahului start kampanye
            Pelanggaran ini juga sangat sering terjadi, pemasangan alat peraga kampanye padahal belum memasuki masa kampanye sangat sering kita jumpai sehingga merusak pemandangan kota. Di samping itu juga pemanfaatan media televisi juga sering dilakukan padah belum memasuki jadwal kampanye.

4. Black Campaign
            Pelanggaran ini bisa bersifat fitnah, tuduhan atau peruasakan nama baik calon yang satu oleh calon yang lain. Pelanggaran ini jelas sangat merusak citra demokrasi yang seharusnya santun dalam berpolitik.
C.    Solusi Permasalahan Pemilihan Kepala Daerah
Diperlukan suatu terobosan dalam melihat kembali pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini. Setidaknya kita tidak berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena konflik antar pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa banyak dana lagi yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam proses pilkada, dan kemunduran pendidikan politik yang menciptakan pemilih-pemilih yang primitif, tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.
             Dengan melihat praktek yang terjadi tentunya sudah pantasnya pemerintah melakukan evaluasi mengenai kekurangan-kekurangan tersebut. Presiden RI ketiga B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan tonggak demokrasi yang penting di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi sinergi antara kemerdekaan dan kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya dikembalikan kepada rakyat. Presiden/Wapres dan Pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat. Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka efektifitas system pemilihan gubernur secara langsung perlu dilakukan peninjauan kembali sebagai berikut:
a.       Tinjauan yuridis
Berdasar:
1)    Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang",
2)    Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis",
3)    Pasal 28D ayat (3) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakanbahwa, "setiap warga negera berhak memperoleh kesempatan yg sama dalam pemerintahan",
            Bahwa tidak ada  perintah  pemilihan  gubernur dipilih  secara  langsung, sehingga  pemilihan gubernur dilakukan  melalui system  perwakilan tidak bertentangan dengan konstitusi.
b.      Tinjauan filosofis
1)    Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui sistem perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah dibanding dengan system pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk dipilih sama, jika persyaratan calon gubernur sama.
2)    Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk dipilih, baik sistem pemilihan secara langsung maupun melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan bagi kedua sstem tersebut sama.
3)    Dari sisi terbukanya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah (provinsi) kurang dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi operasional berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas kebijakan yang terkait dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4)    Dari sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat dan daerah, pemilihan Gubernur melalui perwakilan dimana selain DPRD, Pemerintah juga mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur akan memiliki nilai yang lebih baik, karena di satu sisi gubernur harus menjamin terlaksananya kebijakan pemerintah pusat di daerah, di sisi lain Gubernur juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah yang direpresentasikan oleh DPRD.
5)    Dari sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka posisi Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran.
6)    Dari sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi penentuan gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.

c.       Tinjauan Politis
1)    Perkuatan sistem NKRI.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan. Sistem ini bertujuan untuk menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan jumlah daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi rentang kendali pemerintahan diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang kuat dengan pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur. Untuk itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga adanya peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
2)    Penataan posisi gubernur dan sumber legitimasi.
      Pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan bupati/walikota telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota sebagai kepala daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang besar yang membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat daerah yang membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai kepala daerah sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan gubernur sebagai kepala daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka sumber legitimasi gubernur akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
d.      Tinjauan Sosiologis
1)    Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat.
Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang masih mementingkan kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan belum mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam menumbuhkan budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui pengaturan tertentu pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon bersaing secara sehat.
2)     Menumbuhkan   kesadaran   akan   kebutuhan   pemimpin   yang   mampu membawa kemajuan daerah.
            Dalam kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah, dibanding dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat setidaknya akan mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
e.       Tinjauan efektifitas dan efisiensi
            Dari segi kemudahan untuk dilaksanakan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui perwakilan jauh lebih baik dibanding dengan melalui Pilkada secara langsung. Berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung lebih banyak kelemahannya dibandingkan dengan jika dipilih melalui sistem perwakilan.
            Selanjutnya perlu juga diperhatikan mengenai sistem pemilihan wakil kepala daerah, di mana dalam UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah. Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang, banyak terjadi hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak harmonis, sehingga adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat membantu atau terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling melemahkan. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik yang saling menjatuhkan. Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak harmonis tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.



























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pemilihan kepala daerah atau yang sering di sebut pilkadamerupakan adalah pemilihan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah. Pemilihan kepala daerah pada era otonomi daerah ini merupakan sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal.
Akan tetapi, Pelakasanaan pilkada yang di laksanakan di indonesia belum sesuai dengan harapan dan tujuan. Berbagi permaslahan timbul di dalam pemilihan kepala daerah, seperti Persainmgan yang kurang jujur antara pratai politik, Konfilik antar pendukung kepala daerah, Pelaksananan Pemilihan kepala daerah yang belum sesuai ,Money Politik dan masih banyak lagi.
Diperlukan suatu terobosan untuk mengatasi permaslahan-permasalah yang tersebut.salah satunya dengan melihat kembali pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini. Setidaknya kita tidak berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena konflik antar pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa banyak dana lagi yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam proses pilkada, dan kemunduran pendidikan politik yang menciptakan pemilih-pemilih yang primitif, tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.





                                    Daftar Pustaka
Ibrahim, Ahmad.2013. Dinamika Politik Lokal . Bandung: Mandar Maju
Irtanto. 2008. Dinamika Politik Lokal Era Otonomi Daerah.  Surabaya : Pustaka Pelajar
Santoso, Agus. 2013. Menyikap Tabir Otonomi Daerah di Indonesia. Samarinda : Puataka Pelajar
Sentosa, Sembiring. 2009. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Pemerintahan Daerah (Pemda). Bandung: Nuansa Aulia
Undang-Undang  No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah 


PERMASALAHAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH (PEMULUKADA)
( Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah otonomi daerah)



Disusun Oleh:

Nama : Fathur Rozi
NIM : 3601414027






PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNNES 2015





BAB 1
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Salah satu hasil glombang reformasi yang terjadi tahun 1998 adalah UU no. 22 tahun 1999, yang kemudian di ganti dengan uu no. 32 tahun 2004, serta mengalami pergantian dengan uu.no 23 tahun 2014 yaitu tentang pemerintah daerah atau yang lebih di kenal dengan otonomi daerah. Kehadiran Undang-undang tersebut merupakan peluang untuk mewujuddkan aspirasi daerah yaitu keinginan untuk memiliki kepala daerah atau pemimpin lokal yang di sepakat oleh rakyat melalui pemilihan umum. Secara teknis pemilihan umum merupakan sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, seperti yang diamanatkan dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 1 ayat 2. Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat baik ditingkat pemerintahan  pusat maupun pemerintahan daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemilihan kepala daerah sudah ada sejak era orde lama dengan penunjukkan langsung, hingga memasuki era orde baru dengan sistem sentralistik serta sekarang ini era revormasi di mana pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan secara terbuka, yakni dipilih oleh warga masyarakat secara langsung. Pemilihan kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung  jawab. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal . Implementasi dari pemilihan kepala daerah pada dasarnya dapat memenuhi ekspektasi pemerintahan khususnya warga masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan langsung warga masyarakat dapat memilih pemimpin yang dianggap memiliki kapabilitas dan kompetensi yang baik dalam memimpin daerahanya, namun yang terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik dan juga tingkat pendidikan serta tingkat ekonomi pemilih dalam pemilihan umum yang memengaruhi para pemilih dalam memilih kepala daerah. Tingkat  pendidikan maupun ekonomi Masyarakat Indonesia terbukti dalam beberapa pemilu setelah masa reformasi sangat berpengaruh, inilah yang menimbulkan maraknya praktek menyimpang seperti Money Politic. Yang kemudian sangat menciderai sistem demokrasi yang dibangun oleh bangsa Indonesia agar tercipta good governance. Oleh karena itu, Penulis akan memberikan gambaran mengenai permasalah pemilaihan kepala daerah pada masa otonimi daerah.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia?
2.      Apa permasalahan yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah di era otonomi daerah?
3.      Apa Solusi untuk mengatasi permasalahan dalam pemilihan kepala daerah di era otonomi daerah ini?














BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pemilihan Kepala Daerah  di Indonesia
Pilkada adalah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan diselenggarakan pemilihan umum, dimana pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengalaman sejarah kemimpinan nasional di Indonesia menunjukan adanya pembatasan ruang gerak demokrasi yang dimilik oleh rakyat. Hal ini tecermin sejak kepemimpinan nasional yaitu sejak indonesia merdeka sampai era reformasi, Presiden tidak di pilih langsun oleh rakyat. Hal tersebut dijadikan tolak ukur untuk menentukan negra itu demokrasi atau tidak , walaupun demokrasi tidak smata-mata ditentukan adeanya pemilihan oleh rakayat secara langsung. Sejak merdeka sampai reformasi di kumandagkan kepemimpinan diindonesia selalu mengalami permasalahan. Presiden yang pertama , yaitu Presiden Soekarno telah memimpin Indonesia dari 1945 sampai turunya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966. Peresiden sukarno tidak di pilih baik secara parlemen ataupun secara langsung oleh rakyat. Kemudian Presiden yang kedua yaitu Presiden Soeharto walaupun sudah dipilih melalui parlemen, tetapi pemerintahanya seperti tidak ada batasan yang mengaturnya, Sehingga Presiden Soeharto dapat terus berkuasa sampai akhirnya dipaksan untuk turun jabatan melalui reformasi lalu digantikan oleh wakilnya, Habibie.
Pejalan sejarah kepemimpinan nasional tersebutlah yang menyebabkan munculnya tuntutan untuk diadakan pemilihan secara langsun oleh rakyat, baik itu pemilihan presiden dan wakilnya maupun pemilihan kepala daerah. Pemilihan secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung  jawab.
            Diterapkannya pilkada merupakan event demokrasi yang bermakna dalam sejarah politik Indonesia. Untuk pertama kali kontestasi kepala daerah dengan pemilihan langsung oleh rakyat diterapkan setelah lebih separuh abad republik ini menyatakan kemerdekaan-nya. Ini juga bersifat koheren dengan penyelenggaraan pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung (Pasal 6 A UUD 1945). Dalam konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, pilkada bisa jadi merupakan pilar yang bersifat memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional. Sebagaimana dinyatakan oleh Tip O’ Neill, “all politics is local”,1 yang berarti demokrasi akan berkembang subur dan terbangun kuat di aras nasional apabila dalam tingkatan yang lebih rendah (lokal) nilai-nilai demokrasi berakar kuat. Pilkada mewujudkan makna tersebut. Dengan pemahaman seperti itu, penyelenggaraan pilkadal dapat memberikan dampak positif terhadap penguatan demokrasi di Indonesia.
            Pertama, partisipasi politik. Dalam pilkadal, rakyat terlibat langsung untuk menentukan siapa layak (memiliki kredibilitas dan kapabilitas memperjuangkan aspirasi dan memenuhi kepentingan rakyat) menjadi “pelayan” (pejabat publik) mereka. Melalui proses semacam itu, dapat tumbuh kesadaran bahwa merekalah (rakyat) pemegang kedaulatan politik yang sebenarnya. Termasuk dalam kesadaran ini adalah kehati-hatian dalam menentukan pilihan, sebab kesalahan memilih dapat membawa akibat buruk terhadap kehidupan mereka.
            Kedua, kompetisi politik. Pilkada membuka ruang untuk kompetisi yang fair dan adil antara kontestan yang bersaing. Diharapkan tidak ada lagi suatu kontestan dari partai politik tertentu mendominasi secara terus menerus proses yang berlangsung dan menutup ruang bagi kelompok lainnya untuk turut berkompetisi secara fair.
            Ketiga, legitimasi politik. Berbeda dengan cara pilkada tidak langsung seperti yang diterapkan sebelumnya, yakni melalui institusi DPRD, pilkada akan memberikan legitimasi yang kuat kepada kepemimpinan daerah terpilih. Dalam mekanisme pemilihan langsung ini, kepemimpinan yang terwujud akan merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan kepentingan konstituen pemilih (rakyat). Sehingga dapat dipastikan bahwa kandidat yang terpilih secara demokratis mendapat dukungan dari bagian besar dari masyarakat pemilih. Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh DPRD bersifat elitis yang kerap kali menelikung aspirasi rakyat.
             Keempat, minimalisasi manipulasi dan kecurangan. Salah satu unsur yang mendorong penyelenggaraan pilkadal adalah maraknya berbagai kasus money politics dan bentuk kecurangan lainnya dalam praktek pemilihan kepala daerah yang selama ini terjadi. Intervensi pemerintah memang dapat diminimalisasi dalam pilkada selama hampir 4 tahun otonomi daerah dilangsungkan. Namun bandul permasalahan kini malah berayun ke tubuh lembaga perwakilan daerah yang diberi kewenangan memilih kepala daerah. Politik uang (money politics) terjadi hampir secara merata ke seluruh daerah.
            Kelima, accountability. Dalam pemilihan langsung oleh rakyat, accountability kepala daerah menjadi sangat penting. Sebab, apabila rakyat sebagai pemilih menilai bahwa kepala daerah yang terpilih ternyata tidak dapat menjalankan tugas-tugasnya secara baik dan bertanggung jawab, rakyat akan memberikan sanksi dalam pilkadal berikutnya dengan tidak memilihnya kembali.
B.     Permasalah Pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung  jawab. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal . Implementasi dari pemilihan kepala daerah pada dasarnya dapat memenuhi ekspektasi pemerintahan khususnya warga masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan langsung warga masyarakat dapat memilih pemimpin yang dianggap memiliki kapabilitas dan kompetensi yang baik dalam memimpin daerahanya, namun yang terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik yang menyebabkan berbagain masalah. Masal yang pertama yaitu berkaitan dengan pencalonan. Sejumlah ketentuan mengatur tentang hal ini. Pasal 59 ayat 1 menyebutkan: “Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Dalam Pasal 59 (2) dinyatakan bahwa yang dapat mendaftarkan pasangan calon adalah parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPRD. Keberadaan calon perseorangan dinyatakan dalam pasal 59 (3), bahwa “Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.” Ketentuan-ketentuan ini nampak kurang memihak pada prinsip partisipasi dan kompetisi politik. Sebaliknya, kepentingan-kepentingan partai politik, terutama partai-partai besar, kelihatan menonjol. Ayat 1 di atas, misalnya, menegaskan sebenarnya bahwa hanya melalui partai politik pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dinominasi atau menominasikan diri untuk pilkadal ini. Ketentuan semacam ini membatasi partisipasi publik, dan sebaliknya mengutamakan partai politik. Apalagi jika dikaitkan dengan ketentuan berikutnya pada ayat 2, hanya partai-partai besar dapat berpartisipasi dalam proses pemilihan ini. Lebih dari itu, ayat 3 tidak memberikan jaminan bahwa mekanisme seleksi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh partai politik akan dilangsungkan secara demokratis dan transparan. Sebab ketentuan ini amat longgar, karena tidak memberikan batasan yang jelas tentang kedua mekanisme tersebut dan sanksi yang tegas jika kewajiban ini tidak dilaksanakan. Dengan ketentuan seperti ini, kompetisi menjadi terbatas dan tertutup yang hasilnya bisa jadi merupakan transaksi politik “bawah tangan.” Calon-calon yang berkualitas, kompeten dan kapable, serta bersih dalam proses pilkada mungkin sekali akan sulit diperoleh.
Kedua, soal penyelenggara pilkada. Dalam pasal 57 ayat 1 ditegaskan bahwa pilkadal diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD. Selanjutnya pasal 65 ayat 4 menyatakan bahwa KPUD berpedoman kepada Peraturan Pemerintah (PP) dalam melaksanakan tugas persiapan dan pelaksanaan pilkadal. Persoalan yang dikhawatirkan dari kenyataan ini adalah rawannya KPUD dari intervensi dan tekanan dari elite ataupun massa partai politik lokal, terutama dalam masalah tarik ulur pencalonan. Di samping itu, pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD mengandung beberapa ketidakjelasan. UU tersebut tidak merinci  bentuk dan proses pertanggungjawaban serta pelaporan KPUD kepada DPRD. Termasuk konsekuensi-konsekuensi yang dimunculkan apabila DPRD ternyata mengambil sikap menolak pertanggung-jawaban yang disampaikan KPUD. Selain itu, DPRD juga akan menjadi sasaran politis, mulai sejak proses awal, ketika ketidak-puasan muncul di kalangan konstituen tertentu. Persoalan lain yang bersifat lebih substansiil terkait dengan penyelenggara-an pilkada yang bergantung pada Peraturan Pemerintah. Hal ini merupakan kemunduran dari visi penyelenggaraaan pemilu yang jurdil yang bebas dari intervensi pemerintah, dan dengan demikian merupakan kemunduran pula bagi demokratisasi di Indonesia. Ditambah dengan kedudukan KPUD sebagai institusi penyelenggara pilkadal, persoalan menjadi melebar kepada masalah “pertentangan” dengan UUD 1945, yang pada pasal 22 menggariskan bahwa Pemilu dilaksanakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Kenyataan ini menyuratkan secara jelas bahwa pemilihan kepala daerah tidak dianggap sebagai bagian dari pemilih umum. Mungkin saja kesalahan terdapat pada UUD 1945 yang tidak menyatakan pilkadal sebagai bagian dari pemilihan umum. Tetapi, sepanjang pilkadal dinyatakan sebagai proses pemilihan yang mendasarkan pada prinsip-prinsip pemilihan umum, maka sulit untuk menerima logika yang mendudukkan pilkadal bukan bagian dari pemilihan umum. Karena itu, wajar saja jika terdapat kecurigaan kuat bahwa pilkadal memang sengaja didudukkan di bawah “rezim” pemerintahan daerah untuk maksud-maksud politis yang menguntungkan pemerintah pusat.
            Ketiga, terkait dengan kepanitian pengawas pilkadal. Pengawas dalam penyelenggaraan pilkadal dibentuk oleh DPRD (Pasal 57 ayat 7). Panitia Pengawas terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Panitia Pengawas juga bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya. Adanya ketentuan menyangkut unsur perguruan tinggi dan press sebagai anggota Panitia Pengawas terasa berlebihan. Bisa jadi nantinya anggota Panitia Pengawas di tingkat kabupaten/ kota didominasi oleh orang-orang yang berasal dari ibukota provinsi, mengingat sebagian besar kabupaten/kota tidak memilik press dan perguruan tinggi. Duplikasi pelaksanaan pemilu nasional (legislatif, DPD dan presiden/wakil presiden) ke dalam pemilu lokal ini seolah-seolah menggeneralisasi persoalan. Persoalan lain yang muncul terkait dengan independensi Panitia Pengawas. Sebab, DPRD merupakan “kepanjangan tangan parpol” yang turut terlibat dan sarat kepentingan dalam penyelenggaraan pilkada langsung, berikut hasil akhirnya. Dapat dipastikan parpol akan berlomba-lomba menaruh “orangnya” dalam komposisi kepanitiaan pengawas pilkada. Dengan demikian dikhawatirkan Panitia Pengawas akan menjadi kepanjangan kepentingan partai politik dalam menjalankan tugasnya, dan karena itu, tidak lagi bersifat independen.
Keempat, berkaitan dengan penetapan hasil pemilihan. Antara pasal 107 (1) dan 107 (2) terjadi kontradiksi terkait dengan jumlah suara sah untuk penetapan pasangan calon terpilih. Pada pasal 107 (1) dinyatakan calon yang memperoleh lebih dari 50% suara sah langsung ditetapkan sebagai pasangan terpilih. Tetapi ketentuan ini dibatalkan oleh ayat 2 yang menegaskan bahwa peraih suara terbanyak di atas 25 % dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih. Apabila ketentuan ini diberlakukan (paling besar diatas 25% dinyatakan terpilih), persoalan mendasar yang muncul akan berkaitan dengan kulaitas legitimasi. Pilkada dengan demikian memberikan kemungkinan terbentuknya pemerintahan “minoritas” dengan legitimasi yang lemah. Pemerintahan seperti ini mungkin sekali bukan merupakan pemerintahan yang menyelesaikan masalah, sebaliknya justru bisa jadi sumber masalah-masalah baru di daerah. Banyak persoalan lain masih dapat dirinci dari pengaturan politis tentang pilkadal. Tetapi, beberapa catatan di atas kiranya cukup untuk menunjukkan bahwa meski pilkada dapat memacu demokratisasi pada tingkat lokal, penyelenggaraannya mengandung banyak kelemahan yang dapat mengganggu langkah-langkah maju demokratisasi di daerah. Jika kelemahan ini tidak segera di atasi, pilkada malahan dapat menimbulkan komplikasi persoalan justru setelah proses pemilihan kepala daerah menetapkan hasil-hasilnya.
Selain beberapa masalah di atas masih ada beberapa masalah klasik yang membayangi pemilihan kepala daerah secara lansung seperti :

1.      Money Politik
            Rendahnya pengetahuan dan partisipasi masyarakat membuat masyarakat mudah dipengaruhi oleh money politik, belum lagi keadaan ekonomi yang lemah sangat mendukung money politik ini. Contoh yang nyata dialami oleh penulis ketika pilkada kabupaten Bandung beberapa waktu lalu di daerah cibiru ada salah satu tim sukses pasangan calon bupati yang membagi-bagikan uang dan sembako dengan kesepakatan untuk memilih pasangan calon tersebut. Ini menunjukan bahwa pilkada masih kental dengan money politik dan menjadi masalah yang sangat serius dalam proses demokrasi.
2.  Intimidasi
            Selain money politik yang sasarannya untu masyarakat golongan ekonomi lemah, intimidasi dengan kekerasan sering terjadi untuk memaksakan kehendak dalam pilkada sehingga calonnya terpilih. Menggunakan kekerasan intimidasi terhadap masyarakat sangat beresiko fatal sebab selain mencederai proses demokratisasi juga berpotensiterjadinya konflik horizontal. Hal ini sangat bertentangan dengan asas penyelenggaraan pilkada yang luber dan jurdil.
3.  Mendahului start kampanye
            Pelanggaran ini juga sangat sering terjadi, pemasangan alat peraga kampanye padahal belum memasuki masa kampanye sangat sering kita jumpai sehingga merusak pemandangan kota. Di samping itu juga pemanfaatan media televisi juga sering dilakukan padah belum memasuki jadwal kampanye.

4. Black Campaign
            Pelanggaran ini bisa bersifat fitnah, tuduhan atau peruasakan nama baik calon yang satu oleh calon yang lain. Pelanggaran ini jelas sangat merusak citra demokrasi yang seharusnya santun dalam berpolitik.
C.    Solusi Permasalahan Pemilihan Kepala Daerah
Diperlukan suatu terobosan dalam melihat kembali pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini. Setidaknya kita tidak berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena konflik antar pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa banyak dana lagi yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam proses pilkada, dan kemunduran pendidikan politik yang menciptakan pemilih-pemilih yang primitif, tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.
             Dengan melihat praktek yang terjadi tentunya sudah pantasnya pemerintah melakukan evaluasi mengenai kekurangan-kekurangan tersebut. Presiden RI ketiga B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan tonggak demokrasi yang penting di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi sinergi antara kemerdekaan dan kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya dikembalikan kepada rakyat. Presiden/Wapres dan Pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat. Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka efektifitas system pemilihan gubernur secara langsung perlu dilakukan peninjauan kembali sebagai berikut:
a.       Tinjauan yuridis
Berdasar:
1)    Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang",
2)    Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis",
3)    Pasal 28D ayat (3) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakanbahwa, "setiap warga negera berhak memperoleh kesempatan yg sama dalam pemerintahan",
            Bahwa tidak ada  perintah  pemilihan  gubernur dipilih  secara  langsung, sehingga  pemilihan gubernur dilakukan  melalui system  perwakilan tidak bertentangan dengan konstitusi.
b.      Tinjauan filosofis
1)    Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui sistem perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah dibanding dengan system pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk dipilih sama, jika persyaratan calon gubernur sama.
2)    Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk dipilih, baik sistem pemilihan secara langsung maupun melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan bagi kedua sstem tersebut sama.
3)    Dari sisi terbukanya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah (provinsi) kurang dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi operasional berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas kebijakan yang terkait dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4)    Dari sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat dan daerah, pemilihan Gubernur melalui perwakilan dimana selain DPRD, Pemerintah juga mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur akan memiliki nilai yang lebih baik, karena di satu sisi gubernur harus menjamin terlaksananya kebijakan pemerintah pusat di daerah, di sisi lain Gubernur juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah yang direpresentasikan oleh DPRD.
5)    Dari sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka posisi Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran.
6)    Dari sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi penentuan gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.

c.       Tinjauan Politis
1)    Perkuatan sistem NKRI.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan. Sistem ini bertujuan untuk menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan jumlah daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi rentang kendali pemerintahan diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang kuat dengan pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur. Untuk itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga adanya peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
2)    Penataan posisi gubernur dan sumber legitimasi.
      Pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan bupati/walikota telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota sebagai kepala daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang besar yang membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat daerah yang membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai kepala daerah sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan gubernur sebagai kepala daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka sumber legitimasi gubernur akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
d.      Tinjauan Sosiologis
1)    Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat.
Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang masih mementingkan kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan belum mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam menumbuhkan budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui pengaturan tertentu pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon bersaing secara sehat.
2)     Menumbuhkan   kesadaran   akan   kebutuhan   pemimpin   yang   mampu membawa kemajuan daerah.
            Dalam kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah, dibanding dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat setidaknya akan mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
e.       Tinjauan efektifitas dan efisiensi
            Dari segi kemudahan untuk dilaksanakan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui perwakilan jauh lebih baik dibanding dengan melalui Pilkada secara langsung. Berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung lebih banyak kelemahannya dibandingkan dengan jika dipilih melalui sistem perwakilan.
            Selanjutnya perlu juga diperhatikan mengenai sistem pemilihan wakil kepala daerah, di mana dalam UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah. Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang, banyak terjadi hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak harmonis, sehingga adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat membantu atau terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling melemahkan. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik yang saling menjatuhkan. Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak harmonis tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.



























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pemilihan kepala daerah atau yang sering di sebut pilkadamerupakan adalah pemilihan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah. Pemilihan kepala daerah pada era otonomi daerah ini merupakan sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal.
Akan tetapi, Pelakasanaan pilkada yang di laksanakan di indonesia belum sesuai dengan harapan dan tujuan. Berbagi permaslahan timbul di dalam pemilihan kepala daerah, seperti Persainmgan yang kurang jujur antara pratai politik, Konfilik antar pendukung kepala daerah, Pelaksananan Pemilihan kepala daerah yang belum sesuai ,Money Politik dan masih banyak lagi.
Diperlukan suatu terobosan untuk mengatasi permaslahan-permasalah yang tersebut.salah satunya dengan melihat kembali pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini. Setidaknya kita tidak berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena konflik antar pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa banyak dana lagi yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam proses pilkada, dan kemunduran pendidikan politik yang menciptakan pemilih-pemilih yang primitif, tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.





                                    Daftar Pustaka
Ibrahim, Ahmad.2013. Dinamika Politik Lokal . Bandung: Mandar Maju
Irtanto. 2008. Dinamika Politik Lokal Era Otonomi Daerah.  Surabaya : Pustaka Pelajar
Santoso, Agus. 2013. Menyikap Tabir Otonomi Daerah di Indonesia. Samarinda : Puataka Pelajar
Sentosa, Sembiring. 2009. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Pemerintahan Daerah (Pemda). Bandung: Nuansa Aulia
Undang-Undang  No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah 


PERMASALAHAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH (PEMULUKADA)
( Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah otonomi daerah)



Disusun Oleh:

Nama : Fathur Rozi
NIM : 3601414027






PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNNES 2015





BAB 1
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Salah satu hasil glombang reformasi yang terjadi tahun 1998 adalah UU no. 22 tahun 1999, yang kemudian di ganti dengan uu no. 32 tahun 2004, serta mengalami pergantian dengan uu.no 23 tahun 2014 yaitu tentang pemerintah daerah atau yang lebih di kenal dengan otonomi daerah. Kehadiran Undang-undang tersebut merupakan peluang untuk mewujuddkan aspirasi daerah yaitu keinginan untuk memiliki kepala daerah atau pemimpin lokal yang di sepakat oleh rakyat melalui pemilihan umum. Secara teknis pemilihan umum merupakan sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, seperti yang diamanatkan dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 1 ayat 2. Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat baik ditingkat pemerintahan  pusat maupun pemerintahan daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemilihan kepala daerah sudah ada sejak era orde lama dengan penunjukkan langsung, hingga memasuki era orde baru dengan sistem sentralistik serta sekarang ini era revormasi di mana pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan secara terbuka, yakni dipilih oleh warga masyarakat secara langsung. Pemilihan kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung  jawab. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal . Implementasi dari pemilihan kepala daerah pada dasarnya dapat memenuhi ekspektasi pemerintahan khususnya warga masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan langsung warga masyarakat dapat memilih pemimpin yang dianggap memiliki kapabilitas dan kompetensi yang baik dalam memimpin daerahanya, namun yang terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik dan juga tingkat pendidikan serta tingkat ekonomi pemilih dalam pemilihan umum yang memengaruhi para pemilih dalam memilih kepala daerah. Tingkat  pendidikan maupun ekonomi Masyarakat Indonesia terbukti dalam beberapa pemilu setelah masa reformasi sangat berpengaruh, inilah yang menimbulkan maraknya praktek menyimpang seperti Money Politic. Yang kemudian sangat menciderai sistem demokrasi yang dibangun oleh bangsa Indonesia agar tercipta good governance. Oleh karena itu, Penulis akan memberikan gambaran mengenai permasalah pemilaihan kepala daerah pada masa otonimi daerah.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia?
2.      Apa permasalahan yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah di era otonomi daerah?
3.      Apa Solusi untuk mengatasi permasalahan dalam pemilihan kepala daerah di era otonomi daerah ini?














BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pemilihan Kepala Daerah  di Indonesia
Pilkada adalah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan diselenggarakan pemilihan umum, dimana pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengalaman sejarah kemimpinan nasional di Indonesia menunjukan adanya pembatasan ruang gerak demokrasi yang dimilik oleh rakyat. Hal ini tecermin sejak kepemimpinan nasional yaitu sejak indonesia merdeka sampai era reformasi, Presiden tidak di pilih langsun oleh rakyat. Hal tersebut dijadikan tolak ukur untuk menentukan negra itu demokrasi atau tidak , walaupun demokrasi tidak smata-mata ditentukan adeanya pemilihan oleh rakayat secara langsung. Sejak merdeka sampai reformasi di kumandagkan kepemimpinan diindonesia selalu mengalami permasalahan. Presiden yang pertama , yaitu Presiden Soekarno telah memimpin Indonesia dari 1945 sampai turunya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966. Peresiden sukarno tidak di pilih baik secara parlemen ataupun secara langsung oleh rakyat. Kemudian Presiden yang kedua yaitu Presiden Soeharto walaupun sudah dipilih melalui parlemen, tetapi pemerintahanya seperti tidak ada batasan yang mengaturnya, Sehingga Presiden Soeharto dapat terus berkuasa sampai akhirnya dipaksan untuk turun jabatan melalui reformasi lalu digantikan oleh wakilnya, Habibie.
Pejalan sejarah kepemimpinan nasional tersebutlah yang menyebabkan munculnya tuntutan untuk diadakan pemilihan secara langsun oleh rakyat, baik itu pemilihan presiden dan wakilnya maupun pemilihan kepala daerah. Pemilihan secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung  jawab.
            Diterapkannya pilkada merupakan event demokrasi yang bermakna dalam sejarah politik Indonesia. Untuk pertama kali kontestasi kepala daerah dengan pemilihan langsung oleh rakyat diterapkan setelah lebih separuh abad republik ini menyatakan kemerdekaan-nya. Ini juga bersifat koheren dengan penyelenggaraan pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung (Pasal 6 A UUD 1945). Dalam konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, pilkada bisa jadi merupakan pilar yang bersifat memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional. Sebagaimana dinyatakan oleh Tip O’ Neill, “all politics is local”,1 yang berarti demokrasi akan berkembang subur dan terbangun kuat di aras nasional apabila dalam tingkatan yang lebih rendah (lokal) nilai-nilai demokrasi berakar kuat. Pilkada mewujudkan makna tersebut. Dengan pemahaman seperti itu, penyelenggaraan pilkadal dapat memberikan dampak positif terhadap penguatan demokrasi di Indonesia.
            Pertama, partisipasi politik. Dalam pilkadal, rakyat terlibat langsung untuk menentukan siapa layak (memiliki kredibilitas dan kapabilitas memperjuangkan aspirasi dan memenuhi kepentingan rakyat) menjadi “pelayan” (pejabat publik) mereka. Melalui proses semacam itu, dapat tumbuh kesadaran bahwa merekalah (rakyat) pemegang kedaulatan politik yang sebenarnya. Termasuk dalam kesadaran ini adalah kehati-hatian dalam menentukan pilihan, sebab kesalahan memilih dapat membawa akibat buruk terhadap kehidupan mereka.
            Kedua, kompetisi politik. Pilkada membuka ruang untuk kompetisi yang fair dan adil antara kontestan yang bersaing. Diharapkan tidak ada lagi suatu kontestan dari partai politik tertentu mendominasi secara terus menerus proses yang berlangsung dan menutup ruang bagi kelompok lainnya untuk turut berkompetisi secara fair.
            Ketiga, legitimasi politik. Berbeda dengan cara pilkada tidak langsung seperti yang diterapkan sebelumnya, yakni melalui institusi DPRD, pilkada akan memberikan legitimasi yang kuat kepada kepemimpinan daerah terpilih. Dalam mekanisme pemilihan langsung ini, kepemimpinan yang terwujud akan merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan kepentingan konstituen pemilih (rakyat). Sehingga dapat dipastikan bahwa kandidat yang terpilih secara demokratis mendapat dukungan dari bagian besar dari masyarakat pemilih. Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh DPRD bersifat elitis yang kerap kali menelikung aspirasi rakyat.
             Keempat, minimalisasi manipulasi dan kecurangan. Salah satu unsur yang mendorong penyelenggaraan pilkadal adalah maraknya berbagai kasus money politics dan bentuk kecurangan lainnya dalam praktek pemilihan kepala daerah yang selama ini terjadi. Intervensi pemerintah memang dapat diminimalisasi dalam pilkada selama hampir 4 tahun otonomi daerah dilangsungkan. Namun bandul permasalahan kini malah berayun ke tubuh lembaga perwakilan daerah yang diberi kewenangan memilih kepala daerah. Politik uang (money politics) terjadi hampir secara merata ke seluruh daerah.
            Kelima, accountability. Dalam pemilihan langsung oleh rakyat, accountability kepala daerah menjadi sangat penting. Sebab, apabila rakyat sebagai pemilih menilai bahwa kepala daerah yang terpilih ternyata tidak dapat menjalankan tugas-tugasnya secara baik dan bertanggung jawab, rakyat akan memberikan sanksi dalam pilkadal berikutnya dengan tidak memilihnya kembali.
B.     Permasalah Pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung  jawab. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal . Implementasi dari pemilihan kepala daerah pada dasarnya dapat memenuhi ekspektasi pemerintahan khususnya warga masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan langsung warga masyarakat dapat memilih pemimpin yang dianggap memiliki kapabilitas dan kompetensi yang baik dalam memimpin daerahanya, namun yang terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik yang menyebabkan berbagain masalah. Masal yang pertama yaitu berkaitan dengan pencalonan. Sejumlah ketentuan mengatur tentang hal ini. Pasal 59 ayat 1 menyebutkan: “Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Dalam Pasal 59 (2) dinyatakan bahwa yang dapat mendaftarkan pasangan calon adalah parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPRD. Keberadaan calon perseorangan dinyatakan dalam pasal 59 (3), bahwa “Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.” Ketentuan-ketentuan ini nampak kurang memihak pada prinsip partisipasi dan kompetisi politik. Sebaliknya, kepentingan-kepentingan partai politik, terutama partai-partai besar, kelihatan menonjol. Ayat 1 di atas, misalnya, menegaskan sebenarnya bahwa hanya melalui partai politik pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dinominasi atau menominasikan diri untuk pilkadal ini. Ketentuan semacam ini membatasi partisipasi publik, dan sebaliknya mengutamakan partai politik. Apalagi jika dikaitkan dengan ketentuan berikutnya pada ayat 2, hanya partai-partai besar dapat berpartisipasi dalam proses pemilihan ini. Lebih dari itu, ayat 3 tidak memberikan jaminan bahwa mekanisme seleksi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh partai politik akan dilangsungkan secara demokratis dan transparan. Sebab ketentuan ini amat longgar, karena tidak memberikan batasan yang jelas tentang kedua mekanisme tersebut dan sanksi yang tegas jika kewajiban ini tidak dilaksanakan. Dengan ketentuan seperti ini, kompetisi menjadi terbatas dan tertutup yang hasilnya bisa jadi merupakan transaksi politik “bawah tangan.” Calon-calon yang berkualitas, kompeten dan kapable, serta bersih dalam proses pilkada mungkin sekali akan sulit diperoleh.
Kedua, soal penyelenggara pilkada. Dalam pasal 57 ayat 1 ditegaskan bahwa pilkadal diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD. Selanjutnya pasal 65 ayat 4 menyatakan bahwa KPUD berpedoman kepada Peraturan Pemerintah (PP) dalam melaksanakan tugas persiapan dan pelaksanaan pilkadal. Persoalan yang dikhawatirkan dari kenyataan ini adalah rawannya KPUD dari intervensi dan tekanan dari elite ataupun massa partai politik lokal, terutama dalam masalah tarik ulur pencalonan. Di samping itu, pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD mengandung beberapa ketidakjelasan. UU tersebut tidak merinci  bentuk dan proses pertanggungjawaban serta pelaporan KPUD kepada DPRD. Termasuk konsekuensi-konsekuensi yang dimunculkan apabila DPRD ternyata mengambil sikap menolak pertanggung-jawaban yang disampaikan KPUD. Selain itu, DPRD juga akan menjadi sasaran politis, mulai sejak proses awal, ketika ketidak-puasan muncul di kalangan konstituen tertentu. Persoalan lain yang bersifat lebih substansiil terkait dengan penyelenggara-an pilkada yang bergantung pada Peraturan Pemerintah. Hal ini merupakan kemunduran dari visi penyelenggaraaan pemilu yang jurdil yang bebas dari intervensi pemerintah, dan dengan demikian merupakan kemunduran pula bagi demokratisasi di Indonesia. Ditambah dengan kedudukan KPUD sebagai institusi penyelenggara pilkadal, persoalan menjadi melebar kepada masalah “pertentangan” dengan UUD 1945, yang pada pasal 22 menggariskan bahwa Pemilu dilaksanakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Kenyataan ini menyuratkan secara jelas bahwa pemilihan kepala daerah tidak dianggap sebagai bagian dari pemilih umum. Mungkin saja kesalahan terdapat pada UUD 1945 yang tidak menyatakan pilkadal sebagai bagian dari pemilihan umum. Tetapi, sepanjang pilkadal dinyatakan sebagai proses pemilihan yang mendasarkan pada prinsip-prinsip pemilihan umum, maka sulit untuk menerima logika yang mendudukkan pilkadal bukan bagian dari pemilihan umum. Karena itu, wajar saja jika terdapat kecurigaan kuat bahwa pilkadal memang sengaja didudukkan di bawah “rezim” pemerintahan daerah untuk maksud-maksud politis yang menguntungkan pemerintah pusat.
            Ketiga, terkait dengan kepanitian pengawas pilkadal. Pengawas dalam penyelenggaraan pilkadal dibentuk oleh DPRD (Pasal 57 ayat 7). Panitia Pengawas terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Panitia Pengawas juga bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya. Adanya ketentuan menyangkut unsur perguruan tinggi dan press sebagai anggota Panitia Pengawas terasa berlebihan. Bisa jadi nantinya anggota Panitia Pengawas di tingkat kabupaten/ kota didominasi oleh orang-orang yang berasal dari ibukota provinsi, mengingat sebagian besar kabupaten/kota tidak memilik press dan perguruan tinggi. Duplikasi pelaksanaan pemilu nasional (legislatif, DPD dan presiden/wakil presiden) ke dalam pemilu lokal ini seolah-seolah menggeneralisasi persoalan. Persoalan lain yang muncul terkait dengan independensi Panitia Pengawas. Sebab, DPRD merupakan “kepanjangan tangan parpol” yang turut terlibat dan sarat kepentingan dalam penyelenggaraan pilkada langsung, berikut hasil akhirnya. Dapat dipastikan parpol akan berlomba-lomba menaruh “orangnya” dalam komposisi kepanitiaan pengawas pilkada. Dengan demikian dikhawatirkan Panitia Pengawas akan menjadi kepanjangan kepentingan partai politik dalam menjalankan tugasnya, dan karena itu, tidak lagi bersifat independen.
Keempat, berkaitan dengan penetapan hasil pemilihan. Antara pasal 107 (1) dan 107 (2) terjadi kontradiksi terkait dengan jumlah suara sah untuk penetapan pasangan calon terpilih. Pada pasal 107 (1) dinyatakan calon yang memperoleh lebih dari 50% suara sah langsung ditetapkan sebagai pasangan terpilih. Tetapi ketentuan ini dibatalkan oleh ayat 2 yang menegaskan bahwa peraih suara terbanyak di atas 25 % dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih. Apabila ketentuan ini diberlakukan (paling besar diatas 25% dinyatakan terpilih), persoalan mendasar yang muncul akan berkaitan dengan kulaitas legitimasi. Pilkada dengan demikian memberikan kemungkinan terbentuknya pemerintahan “minoritas” dengan legitimasi yang lemah. Pemerintahan seperti ini mungkin sekali bukan merupakan pemerintahan yang menyelesaikan masalah, sebaliknya justru bisa jadi sumber masalah-masalah baru di daerah. Banyak persoalan lain masih dapat dirinci dari pengaturan politis tentang pilkadal. Tetapi, beberapa catatan di atas kiranya cukup untuk menunjukkan bahwa meski pilkada dapat memacu demokratisasi pada tingkat lokal, penyelenggaraannya mengandung banyak kelemahan yang dapat mengganggu langkah-langkah maju demokratisasi di daerah. Jika kelemahan ini tidak segera di atasi, pilkada malahan dapat menimbulkan komplikasi persoalan justru setelah proses pemilihan kepala daerah menetapkan hasil-hasilnya.
Selain beberapa masalah di atas masih ada beberapa masalah klasik yang membayangi pemilihan kepala daerah secara lansung seperti :

1.      Money Politik
            Rendahnya pengetahuan dan partisipasi masyarakat membuat masyarakat mudah dipengaruhi oleh money politik, belum lagi keadaan ekonomi yang lemah sangat mendukung money politik ini. Contoh yang nyata dialami oleh penulis ketika pilkada kabupaten Bandung beberapa waktu lalu di daerah cibiru ada salah satu tim sukses pasangan calon bupati yang membagi-bagikan uang dan sembako dengan kesepakatan untuk memilih pasangan calon tersebut. Ini menunjukan bahwa pilkada masih kental dengan money politik dan menjadi masalah yang sangat serius dalam proses demokrasi.
2.  Intimidasi
            Selain money politik yang sasarannya untu masyarakat golongan ekonomi lemah, intimidasi dengan kekerasan sering terjadi untuk memaksakan kehendak dalam pilkada sehingga calonnya terpilih. Menggunakan kekerasan intimidasi terhadap masyarakat sangat beresiko fatal sebab selain mencederai proses demokratisasi juga berpotensiterjadinya konflik horizontal. Hal ini sangat bertentangan dengan asas penyelenggaraan pilkada yang luber dan jurdil.
3.  Mendahului start kampanye
            Pelanggaran ini juga sangat sering terjadi, pemasangan alat peraga kampanye padahal belum memasuki masa kampanye sangat sering kita jumpai sehingga merusak pemandangan kota. Di samping itu juga pemanfaatan media televisi juga sering dilakukan padah belum memasuki jadwal kampanye.

4. Black Campaign
            Pelanggaran ini bisa bersifat fitnah, tuduhan atau peruasakan nama baik calon yang satu oleh calon yang lain. Pelanggaran ini jelas sangat merusak citra demokrasi yang seharusnya santun dalam berpolitik.
C.    Solusi Permasalahan Pemilihan Kepala Daerah
Diperlukan suatu terobosan dalam melihat kembali pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini. Setidaknya kita tidak berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena konflik antar pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa banyak dana lagi yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam proses pilkada, dan kemunduran pendidikan politik yang menciptakan pemilih-pemilih yang primitif, tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.
             Dengan melihat praktek yang terjadi tentunya sudah pantasnya pemerintah melakukan evaluasi mengenai kekurangan-kekurangan tersebut. Presiden RI ketiga B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan tonggak demokrasi yang penting di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi sinergi antara kemerdekaan dan kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya dikembalikan kepada rakyat. Presiden/Wapres dan Pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat. Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka efektifitas system pemilihan gubernur secara langsung perlu dilakukan peninjauan kembali sebagai berikut:
a.       Tinjauan yuridis
Berdasar:
1)    Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang",
2)    Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis",
3)    Pasal 28D ayat (3) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakanbahwa, "setiap warga negera berhak memperoleh kesempatan yg sama dalam pemerintahan",
            Bahwa tidak ada  perintah  pemilihan  gubernur dipilih  secara  langsung, sehingga  pemilihan gubernur dilakukan  melalui system  perwakilan tidak bertentangan dengan konstitusi.
b.      Tinjauan filosofis
1)    Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui sistem perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah dibanding dengan system pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk dipilih sama, jika persyaratan calon gubernur sama.
2)    Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk dipilih, baik sistem pemilihan secara langsung maupun melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan bagi kedua sstem tersebut sama.
3)    Dari sisi terbukanya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah (provinsi) kurang dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi operasional berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas kebijakan yang terkait dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4)    Dari sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat dan daerah, pemilihan Gubernur melalui perwakilan dimana selain DPRD, Pemerintah juga mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur akan memiliki nilai yang lebih baik, karena di satu sisi gubernur harus menjamin terlaksananya kebijakan pemerintah pusat di daerah, di sisi lain Gubernur juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah yang direpresentasikan oleh DPRD.
5)    Dari sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka posisi Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran.
6)    Dari sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi penentuan gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.

c.       Tinjauan Politis
1)    Perkuatan sistem NKRI.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan. Sistem ini bertujuan untuk menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan jumlah daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi rentang kendali pemerintahan diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang kuat dengan pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur. Untuk itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga adanya peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
2)    Penataan posisi gubernur dan sumber legitimasi.
      Pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan bupati/walikota telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota sebagai kepala daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang besar yang membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat daerah yang membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai kepala daerah sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan gubernur sebagai kepala daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka sumber legitimasi gubernur akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
d.      Tinjauan Sosiologis
1)    Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat.
Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang masih mementingkan kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan belum mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam menumbuhkan budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui pengaturan tertentu pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon bersaing secara sehat.
2)     Menumbuhkan   kesadaran   akan   kebutuhan   pemimpin   yang   mampu membawa kemajuan daerah.
            Dalam kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah, dibanding dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat setidaknya akan mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
e.       Tinjauan efektifitas dan efisiensi
            Dari segi kemudahan untuk dilaksanakan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui perwakilan jauh lebih baik dibanding dengan melalui Pilkada secara langsung. Berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung lebih banyak kelemahannya dibandingkan dengan jika dipilih melalui sistem perwakilan.
            Selanjutnya perlu juga diperhatikan mengenai sistem pemilihan wakil kepala daerah, di mana dalam UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah. Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang, banyak terjadi hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak harmonis, sehingga adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat membantu atau terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling melemahkan. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik yang saling menjatuhkan. Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak harmonis tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.



























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pemilihan kepala daerah atau yang sering di sebut pilkadamerupakan adalah pemilihan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah. Pemilihan kepala daerah pada era otonomi daerah ini merupakan sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal.
Akan tetapi, Pelakasanaan pilkada yang di laksanakan di indonesia belum sesuai dengan harapan dan tujuan. Berbagi permaslahan timbul di dalam pemilihan kepala daerah, seperti Persainmgan yang kurang jujur antara pratai politik, Konfilik antar pendukung kepala daerah, Pelaksananan Pemilihan kepala daerah yang belum sesuai ,Money Politik dan masih banyak lagi.
Diperlukan suatu terobosan untuk mengatasi permaslahan-permasalah yang tersebut.salah satunya dengan melihat kembali pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini. Setidaknya kita tidak berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena konflik antar pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa banyak dana lagi yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam proses pilkada, dan kemunduran pendidikan politik yang menciptakan pemilih-pemilih yang primitif, tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.





                                    Daftar Pustaka
Ibrahim, Ahmad.2013. Dinamika Politik Lokal . Bandung: Mandar Maju
Irtanto. 2008. Dinamika Politik Lokal Era Otonomi Daerah.  Surabaya : Pustaka Pelajar
Santoso, Agus. 2013. Menyikap Tabir Otonomi Daerah di Indonesia. Samarinda : Puataka Pelajar
Sentosa, Sembiring. 2009. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Pemerintahan Daerah (Pemda). Bandung: Nuansa Aulia
Undang-Undang  No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah 


PERMASALAHAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH (PEMULUKADA)
( Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah otonomi daerah)



Disusun Oleh:

Nama : Fathur Rozi
NIM : 3601414027






PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNNES 2015





BAB 1
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Salah satu hasil glombang reformasi yang terjadi tahun 1998 adalah UU no. 22 tahun 1999, yang kemudian di ganti dengan uu no. 32 tahun 2004, serta mengalami pergantian dengan uu.no 23 tahun 2014 yaitu tentang pemerintah daerah atau yang lebih di kenal dengan otonomi daerah. Kehadiran Undang-undang tersebut merupakan peluang untuk mewujuddkan aspirasi daerah yaitu keinginan untuk memiliki kepala daerah atau pemimpin lokal yang di sepakat oleh rakyat melalui pemilihan umum. Secara teknis pemilihan umum merupakan sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, seperti yang diamanatkan dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 1 ayat 2. Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat baik ditingkat pemerintahan  pusat maupun pemerintahan daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemilihan kepala daerah sudah ada sejak era orde lama dengan penunjukkan langsung, hingga memasuki era orde baru dengan sistem sentralistik serta sekarang ini era revormasi di mana pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan secara terbuka, yakni dipilih oleh warga masyarakat secara langsung. Pemilihan kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung  jawab. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal . Implementasi dari pemilihan kepala daerah pada dasarnya dapat memenuhi ekspektasi pemerintahan khususnya warga masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan langsung warga masyarakat dapat memilih pemimpin yang dianggap memiliki kapabilitas dan kompetensi yang baik dalam memimpin daerahanya, namun yang terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik dan juga tingkat pendidikan serta tingkat ekonomi pemilih dalam pemilihan umum yang memengaruhi para pemilih dalam memilih kepala daerah. Tingkat  pendidikan maupun ekonomi Masyarakat Indonesia terbukti dalam beberapa pemilu setelah masa reformasi sangat berpengaruh, inilah yang menimbulkan maraknya praktek menyimpang seperti Money Politic. Yang kemudian sangat menciderai sistem demokrasi yang dibangun oleh bangsa Indonesia agar tercipta good governance. Oleh karena itu, Penulis akan memberikan gambaran mengenai permasalah pemilaihan kepala daerah pada masa otonimi daerah.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia?
2.      Apa permasalahan yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah di era otonomi daerah?
3.      Apa Solusi untuk mengatasi permasalahan dalam pemilihan kepala daerah di era otonomi daerah ini?














BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pemilihan Kepala Daerah  di Indonesia
Pilkada adalah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan diselenggarakan pemilihan umum, dimana pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengalaman sejarah kemimpinan nasional di Indonesia menunjukan adanya pembatasan ruang gerak demokrasi yang dimilik oleh rakyat. Hal ini tecermin sejak kepemimpinan nasional yaitu sejak indonesia merdeka sampai era reformasi, Presiden tidak di pilih langsun oleh rakyat. Hal tersebut dijadikan tolak ukur untuk menentukan negra itu demokrasi atau tidak , walaupun demokrasi tidak smata-mata ditentukan adeanya pemilihan oleh rakayat secara langsung. Sejak merdeka sampai reformasi di kumandagkan kepemimpinan diindonesia selalu mengalami permasalahan. Presiden yang pertama , yaitu Presiden Soekarno telah memimpin Indonesia dari 1945 sampai turunya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966. Peresiden sukarno tidak di pilih baik secara parlemen ataupun secara langsung oleh rakyat. Kemudian Presiden yang kedua yaitu Presiden Soeharto walaupun sudah dipilih melalui parlemen, tetapi pemerintahanya seperti tidak ada batasan yang mengaturnya, Sehingga Presiden Soeharto dapat terus berkuasa sampai akhirnya dipaksan untuk turun jabatan melalui reformasi lalu digantikan oleh wakilnya, Habibie.
Pejalan sejarah kepemimpinan nasional tersebutlah yang menyebabkan munculnya tuntutan untuk diadakan pemilihan secara langsun oleh rakyat, baik itu pemilihan presiden dan wakilnya maupun pemilihan kepala daerah. Pemilihan secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung  jawab.
            Diterapkannya pilkada merupakan event demokrasi yang bermakna dalam sejarah politik Indonesia. Untuk pertama kali kontestasi kepala daerah dengan pemilihan langsung oleh rakyat diterapkan setelah lebih separuh abad republik ini menyatakan kemerdekaan-nya. Ini juga bersifat koheren dengan penyelenggaraan pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung (Pasal 6 A UUD 1945). Dalam konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, pilkada bisa jadi merupakan pilar yang bersifat memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional. Sebagaimana dinyatakan oleh Tip O’ Neill, “all politics is local”,1 yang berarti demokrasi akan berkembang subur dan terbangun kuat di aras nasional apabila dalam tingkatan yang lebih rendah (lokal) nilai-nilai demokrasi berakar kuat. Pilkada mewujudkan makna tersebut. Dengan pemahaman seperti itu, penyelenggaraan pilkadal dapat memberikan dampak positif terhadap penguatan demokrasi di Indonesia.
            Pertama, partisipasi politik. Dalam pilkadal, rakyat terlibat langsung untuk menentukan siapa layak (memiliki kredibilitas dan kapabilitas memperjuangkan aspirasi dan memenuhi kepentingan rakyat) menjadi “pelayan” (pejabat publik) mereka. Melalui proses semacam itu, dapat tumbuh kesadaran bahwa merekalah (rakyat) pemegang kedaulatan politik yang sebenarnya. Termasuk dalam kesadaran ini adalah kehati-hatian dalam menentukan pilihan, sebab kesalahan memilih dapat membawa akibat buruk terhadap kehidupan mereka.
            Kedua, kompetisi politik. Pilkada membuka ruang untuk kompetisi yang fair dan adil antara kontestan yang bersaing. Diharapkan tidak ada lagi suatu kontestan dari partai politik tertentu mendominasi secara terus menerus proses yang berlangsung dan menutup ruang bagi kelompok lainnya untuk turut berkompetisi secara fair.
            Ketiga, legitimasi politik. Berbeda dengan cara pilkada tidak langsung seperti yang diterapkan sebelumnya, yakni melalui institusi DPRD, pilkada akan memberikan legitimasi yang kuat kepada kepemimpinan daerah terpilih. Dalam mekanisme pemilihan langsung ini, kepemimpinan yang terwujud akan merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan kepentingan konstituen pemilih (rakyat). Sehingga dapat dipastikan bahwa kandidat yang terpilih secara demokratis mendapat dukungan dari bagian besar dari masyarakat pemilih. Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh DPRD bersifat elitis yang kerap kali menelikung aspirasi rakyat.
             Keempat, minimalisasi manipulasi dan kecurangan. Salah satu unsur yang mendorong penyelenggaraan pilkadal adalah maraknya berbagai kasus money politics dan bentuk kecurangan lainnya dalam praktek pemilihan kepala daerah yang selama ini terjadi. Intervensi pemerintah memang dapat diminimalisasi dalam pilkada selama hampir 4 tahun otonomi daerah dilangsungkan. Namun bandul permasalahan kini malah berayun ke tubuh lembaga perwakilan daerah yang diberi kewenangan memilih kepala daerah. Politik uang (money politics) terjadi hampir secara merata ke seluruh daerah.
            Kelima, accountability. Dalam pemilihan langsung oleh rakyat, accountability kepala daerah menjadi sangat penting. Sebab, apabila rakyat sebagai pemilih menilai bahwa kepala daerah yang terpilih ternyata tidak dapat menjalankan tugas-tugasnya secara baik dan bertanggung jawab, rakyat akan memberikan sanksi dalam pilkadal berikutnya dengan tidak memilihnya kembali.
B.     Permasalah Pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis ( kedaulatan rakyat), serta transparan dan bertanggung  jawab. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal . Implementasi dari pemilihan kepala daerah pada dasarnya dapat memenuhi ekspektasi pemerintahan khususnya warga masyarakat itu sendiri, dengan pemilihan langsung warga masyarakat dapat memilih pemimpin yang dianggap memiliki kapabilitas dan kompetensi yang baik dalam memimpin daerahanya, namun yang terjadi ialah harapan itu nampaknya sulit untuk terwujud dikarenakan adanaya pergolakan politik yang menyebabkan berbagain masalah. Masal yang pertama yaitu berkaitan dengan pencalonan. Sejumlah ketentuan mengatur tentang hal ini. Pasal 59 ayat 1 menyebutkan: “Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Dalam Pasal 59 (2) dinyatakan bahwa yang dapat mendaftarkan pasangan calon adalah parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPRD. Keberadaan calon perseorangan dinyatakan dalam pasal 59 (3), bahwa “Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.” Ketentuan-ketentuan ini nampak kurang memihak pada prinsip partisipasi dan kompetisi politik. Sebaliknya, kepentingan-kepentingan partai politik, terutama partai-partai besar, kelihatan menonjol. Ayat 1 di atas, misalnya, menegaskan sebenarnya bahwa hanya melalui partai politik pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dinominasi atau menominasikan diri untuk pilkadal ini. Ketentuan semacam ini membatasi partisipasi publik, dan sebaliknya mengutamakan partai politik. Apalagi jika dikaitkan dengan ketentuan berikutnya pada ayat 2, hanya partai-partai besar dapat berpartisipasi dalam proses pemilihan ini. Lebih dari itu, ayat 3 tidak memberikan jaminan bahwa mekanisme seleksi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh partai politik akan dilangsungkan secara demokratis dan transparan. Sebab ketentuan ini amat longgar, karena tidak memberikan batasan yang jelas tentang kedua mekanisme tersebut dan sanksi yang tegas jika kewajiban ini tidak dilaksanakan. Dengan ketentuan seperti ini, kompetisi menjadi terbatas dan tertutup yang hasilnya bisa jadi merupakan transaksi politik “bawah tangan.” Calon-calon yang berkualitas, kompeten dan kapable, serta bersih dalam proses pilkada mungkin sekali akan sulit diperoleh.
Kedua, soal penyelenggara pilkada. Dalam pasal 57 ayat 1 ditegaskan bahwa pilkadal diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD. Selanjutnya pasal 65 ayat 4 menyatakan bahwa KPUD berpedoman kepada Peraturan Pemerintah (PP) dalam melaksanakan tugas persiapan dan pelaksanaan pilkadal. Persoalan yang dikhawatirkan dari kenyataan ini adalah rawannya KPUD dari intervensi dan tekanan dari elite ataupun massa partai politik lokal, terutama dalam masalah tarik ulur pencalonan. Di samping itu, pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD mengandung beberapa ketidakjelasan. UU tersebut tidak merinci  bentuk dan proses pertanggungjawaban serta pelaporan KPUD kepada DPRD. Termasuk konsekuensi-konsekuensi yang dimunculkan apabila DPRD ternyata mengambil sikap menolak pertanggung-jawaban yang disampaikan KPUD. Selain itu, DPRD juga akan menjadi sasaran politis, mulai sejak proses awal, ketika ketidak-puasan muncul di kalangan konstituen tertentu. Persoalan lain yang bersifat lebih substansiil terkait dengan penyelenggara-an pilkada yang bergantung pada Peraturan Pemerintah. Hal ini merupakan kemunduran dari visi penyelenggaraaan pemilu yang jurdil yang bebas dari intervensi pemerintah, dan dengan demikian merupakan kemunduran pula bagi demokratisasi di Indonesia. Ditambah dengan kedudukan KPUD sebagai institusi penyelenggara pilkadal, persoalan menjadi melebar kepada masalah “pertentangan” dengan UUD 1945, yang pada pasal 22 menggariskan bahwa Pemilu dilaksanakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Kenyataan ini menyuratkan secara jelas bahwa pemilihan kepala daerah tidak dianggap sebagai bagian dari pemilih umum. Mungkin saja kesalahan terdapat pada UUD 1945 yang tidak menyatakan pilkadal sebagai bagian dari pemilihan umum. Tetapi, sepanjang pilkadal dinyatakan sebagai proses pemilihan yang mendasarkan pada prinsip-prinsip pemilihan umum, maka sulit untuk menerima logika yang mendudukkan pilkadal bukan bagian dari pemilihan umum. Karena itu, wajar saja jika terdapat kecurigaan kuat bahwa pilkadal memang sengaja didudukkan di bawah “rezim” pemerintahan daerah untuk maksud-maksud politis yang menguntungkan pemerintah pusat.
            Ketiga, terkait dengan kepanitian pengawas pilkadal. Pengawas dalam penyelenggaraan pilkadal dibentuk oleh DPRD (Pasal 57 ayat 7). Panitia Pengawas terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Panitia Pengawas juga bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya. Adanya ketentuan menyangkut unsur perguruan tinggi dan press sebagai anggota Panitia Pengawas terasa berlebihan. Bisa jadi nantinya anggota Panitia Pengawas di tingkat kabupaten/ kota didominasi oleh orang-orang yang berasal dari ibukota provinsi, mengingat sebagian besar kabupaten/kota tidak memilik press dan perguruan tinggi. Duplikasi pelaksanaan pemilu nasional (legislatif, DPD dan presiden/wakil presiden) ke dalam pemilu lokal ini seolah-seolah menggeneralisasi persoalan. Persoalan lain yang muncul terkait dengan independensi Panitia Pengawas. Sebab, DPRD merupakan “kepanjangan tangan parpol” yang turut terlibat dan sarat kepentingan dalam penyelenggaraan pilkada langsung, berikut hasil akhirnya. Dapat dipastikan parpol akan berlomba-lomba menaruh “orangnya” dalam komposisi kepanitiaan pengawas pilkada. Dengan demikian dikhawatirkan Panitia Pengawas akan menjadi kepanjangan kepentingan partai politik dalam menjalankan tugasnya, dan karena itu, tidak lagi bersifat independen.
Keempat, berkaitan dengan penetapan hasil pemilihan. Antara pasal 107 (1) dan 107 (2) terjadi kontradiksi terkait dengan jumlah suara sah untuk penetapan pasangan calon terpilih. Pada pasal 107 (1) dinyatakan calon yang memperoleh lebih dari 50% suara sah langsung ditetapkan sebagai pasangan terpilih. Tetapi ketentuan ini dibatalkan oleh ayat 2 yang menegaskan bahwa peraih suara terbanyak di atas 25 % dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih. Apabila ketentuan ini diberlakukan (paling besar diatas 25% dinyatakan terpilih), persoalan mendasar yang muncul akan berkaitan dengan kulaitas legitimasi. Pilkada dengan demikian memberikan kemungkinan terbentuknya pemerintahan “minoritas” dengan legitimasi yang lemah. Pemerintahan seperti ini mungkin sekali bukan merupakan pemerintahan yang menyelesaikan masalah, sebaliknya justru bisa jadi sumber masalah-masalah baru di daerah. Banyak persoalan lain masih dapat dirinci dari pengaturan politis tentang pilkadal. Tetapi, beberapa catatan di atas kiranya cukup untuk menunjukkan bahwa meski pilkada dapat memacu demokratisasi pada tingkat lokal, penyelenggaraannya mengandung banyak kelemahan yang dapat mengganggu langkah-langkah maju demokratisasi di daerah. Jika kelemahan ini tidak segera di atasi, pilkada malahan dapat menimbulkan komplikasi persoalan justru setelah proses pemilihan kepala daerah menetapkan hasil-hasilnya.
Selain beberapa masalah di atas masih ada beberapa masalah klasik yang membayangi pemilihan kepala daerah secara lansung seperti :

1.      Money Politik
            Rendahnya pengetahuan dan partisipasi masyarakat membuat masyarakat mudah dipengaruhi oleh money politik, belum lagi keadaan ekonomi yang lemah sangat mendukung money politik ini. Contoh yang nyata dialami oleh penulis ketika pilkada kabupaten Bandung beberapa waktu lalu di daerah cibiru ada salah satu tim sukses pasangan calon bupati yang membagi-bagikan uang dan sembako dengan kesepakatan untuk memilih pasangan calon tersebut. Ini menunjukan bahwa pilkada masih kental dengan money politik dan menjadi masalah yang sangat serius dalam proses demokrasi.
2.  Intimidasi
            Selain money politik yang sasarannya untu masyarakat golongan ekonomi lemah, intimidasi dengan kekerasan sering terjadi untuk memaksakan kehendak dalam pilkada sehingga calonnya terpilih. Menggunakan kekerasan intimidasi terhadap masyarakat sangat beresiko fatal sebab selain mencederai proses demokratisasi juga berpotensiterjadinya konflik horizontal. Hal ini sangat bertentangan dengan asas penyelenggaraan pilkada yang luber dan jurdil.
3.  Mendahului start kampanye
            Pelanggaran ini juga sangat sering terjadi, pemasangan alat peraga kampanye padahal belum memasuki masa kampanye sangat sering kita jumpai sehingga merusak pemandangan kota. Di samping itu juga pemanfaatan media televisi juga sering dilakukan padah belum memasuki jadwal kampanye.

4. Black Campaign
            Pelanggaran ini bisa bersifat fitnah, tuduhan atau peruasakan nama baik calon yang satu oleh calon yang lain. Pelanggaran ini jelas sangat merusak citra demokrasi yang seharusnya santun dalam berpolitik.
C.    Solusi Permasalahan Pemilihan Kepala Daerah
Diperlukan suatu terobosan dalam melihat kembali pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini. Setidaknya kita tidak berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena konflik antar pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa banyak dana lagi yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam proses pilkada, dan kemunduran pendidikan politik yang menciptakan pemilih-pemilih yang primitif, tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.
             Dengan melihat praktek yang terjadi tentunya sudah pantasnya pemerintah melakukan evaluasi mengenai kekurangan-kekurangan tersebut. Presiden RI ketiga B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan tonggak demokrasi yang penting di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi sinergi antara kemerdekaan dan kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya dikembalikan kepada rakyat. Presiden/Wapres dan Pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat. Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka efektifitas system pemilihan gubernur secara langsung perlu dilakukan peninjauan kembali sebagai berikut:
a.       Tinjauan yuridis
Berdasar:
1)    Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang",
2)    Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis",
3)    Pasal 28D ayat (3) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakanbahwa, "setiap warga negera berhak memperoleh kesempatan yg sama dalam pemerintahan",
            Bahwa tidak ada  perintah  pemilihan  gubernur dipilih  secara  langsung, sehingga  pemilihan gubernur dilakukan  melalui system  perwakilan tidak bertentangan dengan konstitusi.
b.      Tinjauan filosofis
1)    Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui sistem perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah dibanding dengan system pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk dipilih sama, jika persyaratan calon gubernur sama.
2)    Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk dipilih, baik sistem pemilihan secara langsung maupun melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan bagi kedua sstem tersebut sama.
3)    Dari sisi terbukanya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah (provinsi) kurang dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi operasional berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas kebijakan yang terkait dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4)    Dari sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat dan daerah, pemilihan Gubernur melalui perwakilan dimana selain DPRD, Pemerintah juga mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur akan memiliki nilai yang lebih baik, karena di satu sisi gubernur harus menjamin terlaksananya kebijakan pemerintah pusat di daerah, di sisi lain Gubernur juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah yang direpresentasikan oleh DPRD.
5)    Dari sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka posisi Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran.
6)    Dari sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi penentuan gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.

c.       Tinjauan Politis
1)    Perkuatan sistem NKRI.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan. Sistem ini bertujuan untuk menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan jumlah daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi rentang kendali pemerintahan diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang kuat dengan pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur. Untuk itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga adanya peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
2)    Penataan posisi gubernur dan sumber legitimasi.
      Pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan bupati/walikota telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota sebagai kepala daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang besar yang membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat daerah yang membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai kepala daerah sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan gubernur sebagai kepala daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka sumber legitimasi gubernur akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
d.      Tinjauan Sosiologis
1)    Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat.
Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang masih mementingkan kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan belum mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam menumbuhkan budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui pengaturan tertentu pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon bersaing secara sehat.
2)     Menumbuhkan   kesadaran   akan   kebutuhan   pemimpin   yang   mampu membawa kemajuan daerah.
            Dalam kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah, dibanding dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat setidaknya akan mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
e.       Tinjauan efektifitas dan efisiensi
            Dari segi kemudahan untuk dilaksanakan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui perwakilan jauh lebih baik dibanding dengan melalui Pilkada secara langsung. Berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung lebih banyak kelemahannya dibandingkan dengan jika dipilih melalui sistem perwakilan.
            Selanjutnya perlu juga diperhatikan mengenai sistem pemilihan wakil kepala daerah, di mana dalam UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah. Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang, banyak terjadi hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak harmonis, sehingga adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat membantu atau terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling melemahkan. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik yang saling menjatuhkan. Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak harmonis tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.



























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pemilihan kepala daerah atau yang sering di sebut pilkadamerupakan adalah pemilihan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah. Pemilihan kepala daerah pada era otonomi daerah ini merupakan sarana Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat yang dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Selain itu, pemilihan secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan demokratisasi lokal, yaitu tidak sekedar distribusi pemerintahan secara vertikal.
Akan tetapi, Pelakasanaan pilkada yang di laksanakan di indonesia belum sesuai dengan harapan dan tujuan. Berbagi permaslahan timbul di dalam pemilihan kepala daerah, seperti Persainmgan yang kurang jujur antara pratai politik, Konfilik antar pendukung kepala daerah, Pelaksananan Pemilihan kepala daerah yang belum sesuai ,Money Politik dan masih banyak lagi.
Diperlukan suatu terobosan untuk mengatasi permaslahan-permasalah yang tersebut.salah satunya dengan melihat kembali pemilihan langsung kepala daerah, dengan melihat beberapa kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam implementasi pilkada langsung ini. Setidaknya kita tidak berharap akan adanya korban-korban dari masyarakat karena konflik antar pendukung calon kepala daerah, kita juga tidak berharap berapa banyak dana lagi yang harus habis dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam proses pilkada, dan kemunduran pendidikan politik yang menciptakan pemilih-pemilih yang primitif, tradisonal yang jauh dari pemilih rasional.





                                    Daftar Pustaka
Ibrahim, Ahmad.2013. Dinamika Politik Lokal . Bandung: Mandar Maju
Irtanto. 2008. Dinamika Politik Lokal Era Otonomi Daerah.  Surabaya : Pustaka Pelajar
Santoso, Agus. 2013. Menyikap Tabir Otonomi Daerah di Indonesia. Samarinda : Puataka Pelajar
Sentosa, Sembiring. 2009. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Pemerintahan Daerah (Pemda). Bandung: Nuansa Aulia
Undang-Undang  No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

1 komentar:

  1. Spin and Win Online Casino Site
    Spin and Win Online Casino 카지노사이트luckclub Website. Spin and Win Online Casino. Play and win. The award-winning online casino. Play & win. Experience the best online

    BalasHapus